Jumat, 05 Juni 2015

Tolong jangan bilang anakku “pintar”…. (Fixed Mindset Vs Growth Mindset)


Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar” itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga, saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama.

Lalu, ada apa dengan label “pintar” itu?

Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset. Kedua kubu tersebut merupakan bahasan penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).

Kamis, 09 April 2015

Penerimaan Naskah Di Pustaka Al Kautsar

Kalau kamu punya naskah seperti ini:

• Kisah nyata/ memoar
• Novel (dewasa)
• Komik (anak ataupun dewasa)
• Dongeng, cerita rakyat
• Kisah/ novel inspiratif
• Catatan perjalanan
• Referensi Islam Populer
• Pengetahuan Umum Populer
• Pengembangan diri (motivasi)
• Pernikahan; keluarga; pengasuhan anak (parenting)
• Pendidikan praktis
• Panduan, tips, dan motivasi
• Hikmah dan kandungan ibadah
• Gaya hidup islami
• Penulisan populer lainnya (Tema bebas asal sesuai dengan nilai-nilai Islam)


Segera kirim ke:

Penerbit Pustaka Al-Kautsar Group
Jl. Cipinang Muara Raya No. 63, Jakarta Timur 13420
Telp. 021. 850 7590

Atau bisa juga dikirim via email ke redaksi@kautsar.co.id

Senin, 12 Januari 2015

Ibuku Sundal ...


Kata beberapa teman, ibuku sangatlah jalang. Sundal. Aku pun dijuluki anak haram. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak pernah mendengarkan apa yang mereka katakan. Bukan karena tidak peduli, sebenarnya. Tapi karena memang begitulah kenyataannya. Aku sering melihat ibuku berkasih-kasihan dengan orang lain. Bahkan yang paling edan, ia sering melakukan hal serupa dengan kakakku!
“Kenapa kamu tidak melarangnya melakukan hal itu?” seorang teman mengajakku berbicara.
“Biarlah,” jawabku pendek. “Yang penting jangan denganku.”
“Tapi dia ibumu!”
“Ya, dan aku akan tetap menghormatinya sampai kapanpun.”
“Kalau ibumu seperti, maaf, pelacur itu kamu diam saja?”
“Ya, hal inilah yang aku lakukan. Dan ini menurutku lebih baik.”
“Lebih baik? Katamu lebih baik? Seharusnya kamu menasehatinya. Itu yang dikatakan baik. Bimbing beliau di jalan yang benar.”
“Tapi bagiku ini yang lebih baik. Tahu kenapa?”
“Kenapa?” tanyanya spontan.
“Aku pun sebenarnya sering ditawari …”
“Ditawari apa?”
“Diajak…”
“Diajak apa?” kejarnya.
“Ya, begitulah….”
“Begitulah bagaimana?” tanyanya penasaran.
“Diajak ber-….” Aku akan mengatakan bersetubuh. Tapi aku urungkan. Aku tidak mengatakan hal itu. Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Tapi aku yakin ia paham apa yang aku maksud.
“Berse…,” kata-katanya tercekat. Lanjutnya, “Oleh ibumu?”
Aku mengangguk.
“Selanjutnya?”

Sabtu, 20 Desember 2014

Sekuntum Hitam dalam Khayalku



Apa yang harus aku tulis?
Entahlah, aku tidak menemukan sebutir ide pun. Tak ada sekelumit cahaya yang membawaku pada seuntai alenia.  Semuanya beku. Mampat. Tak ada yang mengalir. Tak ada yang keluar. Hitam! Kelam! Gulita!
Aku pun merenung.  Aku melihat kertasku. Tak ada goresan apapun di kertasku karena tidak ada apa pun di otakku. Hitam di otakku. Hitam di mataku. Hitam di hatiku. Aha! Aku terlonjak. Ternyata aku tidak mampat. Ada sesuatu di hatiku, di otakku. Ada sesuatu di mataku. Hitam, ya hitam! Itulah yang ada di hatiku. Ternyata otakku tidak kosong. Ada sesuatu padanya. Hitam. Karena otakku telah hitam maka mataku pun telah pula menjadi hitam. Dunia pun menjadi gelap. Semuanya menjadi tidak kelihatan.
“Hei,” segenggam suara tanpa wujud membangunkanku dari euforia itu.
“Ya,” aku menjawab.
“Ceritakanlah tentang aku,” kata si Hitam yang ada di otakku memberi saran.
“Tentang hitam?”
“Ya, tentang aku.”
Aku terdiam sebentar. “Tapi aku tidak suka hitam. Aku suka biru.”
“Kenapa kamu suka biru?” tanyanya.
“Biru memberikan kedamaian, ketenangan, kejujuran dan kesetiaan,” sekuntum senyum aku berikan padanya.
“Kesetiaan?”
“Ya, kesetiaan. Lihatlah langit yang setiap hari menaungi kita. Lautan yang membentang. Ia memberikan penghidupan.”

Sabtu, 06 Desember 2014

Agar Belajar Membaca Lebih Menggugah


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Sekali waktu, mintalah anak membacakan isi buku yang telah ia baca. Misalnya, ketika anak minta dibelikan buku baru, kita dapat memintanya bercerita untuk “mengetahui” apakah buku sebelumnya sudah dibaca atau belum. Bisa juga, kita jadikan acara membeli buku baru sebagai rangsangan bagi anak agar menceritakan isi buku.

Selain menjelang acara beli buku baru, kita bisa meminta anak menceritakan isi buku dalam suasana khusus yang mengesankan. Misalnya, orangtua dapat mengumpulkan seluruh anggota keluarga di ruang keluarga untuk secara khusus mendengarkan anak menceritakan isi buku yang sudah ia baca. Melalui rekayasa situasi semacam ini, anak merasa sangat berharga. Anak merasakan membaca sebagai kegiatan yang membuat dirinya berarti sekaligus pada saat yang sama memunculkan rasa percaya diri bahwa dirinya mampu memahami isi buku dan menceritakan kembali. Pada gilirannya, itu semua memberi pengaruh yang sangat positif bagi citra diri, konsep diri, dan efikasi diri anak.