Sabtu, 20 Desember 2014

Sekuntum Hitam dalam Khayalku



Apa yang harus aku tulis?
Entahlah, aku tidak menemukan sebutir ide pun. Tak ada sekelumit cahaya yang membawaku pada seuntai alenia.  Semuanya beku. Mampat. Tak ada yang mengalir. Tak ada yang keluar. Hitam! Kelam! Gulita!
Aku pun merenung.  Aku melihat kertasku. Tak ada goresan apapun di kertasku karena tidak ada apa pun di otakku. Hitam di otakku. Hitam di mataku. Hitam di hatiku. Aha! Aku terlonjak. Ternyata aku tidak mampat. Ada sesuatu di hatiku, di otakku. Ada sesuatu di mataku. Hitam, ya hitam! Itulah yang ada di hatiku. Ternyata otakku tidak kosong. Ada sesuatu padanya. Hitam. Karena otakku telah hitam maka mataku pun telah pula menjadi hitam. Dunia pun menjadi gelap. Semuanya menjadi tidak kelihatan.
“Hei,” segenggam suara tanpa wujud membangunkanku dari euforia itu.
“Ya,” aku menjawab.
“Ceritakanlah tentang aku,” kata si Hitam yang ada di otakku memberi saran.
“Tentang hitam?”
“Ya, tentang aku.”
Aku terdiam sebentar. “Tapi aku tidak suka hitam. Aku suka biru.”
“Kenapa kamu suka biru?” tanyanya.
“Biru memberikan kedamaian, ketenangan, kejujuran dan kesetiaan,” sekuntum senyum aku berikan padanya.
“Kesetiaan?”
“Ya, kesetiaan. Lihatlah langit yang setiap hari menaungi kita. Lautan yang membentang. Ia memberikan penghidupan.”

“Itu pasti. Tapi …bukankah hitam itu alami. Natural. Rambutmu berwarna hitam. Kulitmu pun sama,” katanya menelanjangiku. Ia tahu rambutku hitam meski sedang di-highlight pirang. Aku tersinggung. Kenapa ia mengatakan hal itu. Pembaca menjadi tahu kalau aku berkulit hitam. Rahasiaku dibongkarnya habis-habisan.
 “Aku lebih dekat dibanding birumu,” tambahnya.
 “Tapi aku tidak suka,” jawabku dengan kesal.
“Coba lihat alam ini. Hitam adalah warna yang ada di alam ini. Tanah, angkasa pun berwarna hitam kalau tidak ada cahaya.”
“Ya, tapi aku tidak suka. Hitam katanya warna kematian. Tanda berkabung.”
“Kata siapa? Buktinya pengantin pria biasanya memakai tuksedo berwarna hitam. Apakah itu artinya ia sedang berkabung?”
“Ya, tanda berkabung. Karena sejak saat itu ia harus bertanggungjawab kepada keluarganya. Tidak seperti ketika bujangan. Hanya bertanggung jawab kepada diri sendiri. Makanya sampai sekarang aku belum menikah,” jawabku sekenanya.
“Itu ‘kan menurutmu. Ah, sudahlah kita hentikan saja soal itu. Meskipun kamu tidak suka hitam, kamu bisa menuliskannya ‘kan?”
“Menulis tentang hitam? Kamu?”
“Ya.”
Aku termenung sebentar.  Hatiku berkata aku tidak suka hitam. Aku suka biru. Warna kesetiaan. Ternyata Hitam itu tahu apa yang ada di otakku.
“Ayolah demi aku yang telah hadir di otakmu. Ayolah sekali ini saja.”
Dengan segan aku menjawab, “Tapi kamu jangan ‘ngambek kalau aku salah dalam menulis.”
“Tidak akan.”
“Janji?”
“Ya, aku janji. Tak akan marah.”
“Oke, kita salaman dulu,” kataku sambil menyodorkan tanganku padanya.
“Kamu gila apa? Aku ‘kan cuma ada dalam imajinasimu. Aku tidak bisa menyambut uluran tanganmu itu. Aku tidak bisa salaman.”
“Kalo ‘gitu aku tidak bisa nulis tentang hitam,” kataku manyun.
“Kok, kamu gitu sih. Tega banget. Ayo dong bikin tulisan tentang aku!” pintanya.
“Kita harus salaman dulu. Dalam duniaku itulah sebagai tanda janji. Aku takut kamu marah kalau aku salah dalam menulis.”
“Aku nggak akan marah!”
“Aku tidak percaya kalau hanya omongan saja. Harus salaman. Seperti itulah yang kebiasaan di duniaku.”
Ia termenung.
“’Gini aja,” si Hitam itu berhenti sebentar. “Bayangkan sebuah tangan terulur ke arahmu dan kamu menyambutnya. Kita telah salaman.”
Aku menuruti apa yang dikatakannya. Aku membayangkan sebuah tangan hitam mendekatiku lalu aku menyambutnya. Tapi aku kaget. Tidak ada yang aku pegang. Kosong!
“Tidak bisa! Tidak bisa! Gini aja. Kita bikin surat perjanjian dan kita bubuhi dengan materai enam ribu rupiah. Gimana?”
“Terserah kamu deh. Yang penting ada yang menuliskan tentang aku.”
Aku segera membuat surat perjanjian itu dengan dibubuhi materai tempel. Si Hitam itu membubuhkan dirinya di atas surat itu. Ceplok. Seluruh surat perjanjian itu terpenuhi dengan dirinya. Hitam. Huruf-huruf dan materai itu tidak kelihatan sama sekali. Kertas itu mirip dengan kertas karbon sekarang. Tapi aku tidak perduli. Ini lebih nyata bagiku dibandingkan bersalaman dalam imajinasi itu.
“Nah, sekarang telah selesai. Dalam dunia hitam kita harus berhati-hati” gumamku lega.
“Apa? Dunia hitam? Duniaku?”
“Oh, maaf bukan. Dalam dunia –ku, maksudku, dalam dunia manusia kita harus hati-hati.”
Aku terdiam. Kemudian, “Tapi sebelum menulis aku ingin tahu kenapa kamu ingin aku menulis tentang hitam?”
“Kenapa ya?” Ia berhenti sebentar. Ia bertopang hitam dalam otakku. “Karena…jarang ada yang menuliskan tentang aku. Tampaknya aku warna tiri bagi para pengarang itu. Dengarlah sekuntum mawar merah, red rose for a blue lady, green grass of home, yellow submarine.”
Ia menyebutkan beberapa judul lagu.
“Kenapa ya tidak ada yang mau menuliskan sekuntum mawar hitam, atau kenapa tidak ada cerpen yang berjudul Ketika Gerimis Meruncing Hitam. Kenapa harus merah?”
Aku kaget ketika ia mengatakan hal itu. Dari mana ia tahu judul lagu dan sepotong cerpen itu? Apakah ia sering mentelinga lagu-lagu yang diputar Andre tetanggaku yang bertato Tweety itu? Ataukah ia sering datang ke perpustakaan untuk membuka karya-karya sastra itu?
“Tunggu dulu, dari mana kamu tahu judul lagu dan cerpen itu?” tanyaku.
Ia menatapku penuh iba.
“Manusia hitam,” kembali aku tersinggung, “Sungguh kasihan dirimu. Kamu barangkali lupa bahwa aku ada di setiap ruang dan waktu. Aku bisa menyelinap dimana saja. Aku bisa menjelma ketika cahaya sirna. Kamu pun bisa lihat, huruf-huruf di kertas itu berwarna hitam. Mereka-mereka itu adalah ipar-iparku.”
Aku tertegun mendengarnya. Baru aku sadari hal itu. Hitam ternyata ada di mana-mana di dunia ini. Sebuah warna abadi jika cahaya punah.
“Hei!” ia mengagetkanku. Aku terlonjak dari lamunanku.
“Hei!” Hitam itu menyapaku kembali.
“Ya?”
“Ayo dong!”
“Apanya?”
“Ampun, deh. Kamu pelupa apa? Bikin tulisan tentang aku?”
“Tentang hitam?”
“Ya, iyalah. Masa ya ijazah!” ujarnya gaul.
“Oke deh,” kataku sambil tersenyum. Aku berpikir sebentar. Karena sedang buntu aku hanya menulis pendek saja: PAKAI HITAM, NAKUT-NAKUTIN. EH SALAH, PAKAI HITAM SIAPA TAKUT?
Si Hitam itu terbengong. Pembaca tidak mengerti. Hanya aku yang manggut-manggut!

0 komentar:

Posting Komentar