![]() |
| sumber gambar : dgi-indonesia.com |
Ketika aku termenung, tiba-tiba pintu kamar kostku terbuka. Sahabatku muncul. Ia heran ketika aku tengah bersiap-siap. Mungkin ia tidak percaya.
“Kamu yakin?” tanyanya.
“Haqqul yaqin!”
“Jangan nekad begitu,” teriaknya.
“Sesekali perlu. Kalau tidak nekad, kita tidak akan pernah menjadi apa-apa.”
“Jangan sok!”
“Harus! Aku harus sok! Aku harus nekad!”
“Tapi ini membahayakan jiwamu.”
“Berdiam diri di rumah pun sebenarnya membahayakan jiwa,” elakku.
“Tapi menyelesaikan masalah bukan dengan cara kekerasan ‘kan?”
“Sesekali boleh,” kataku keras kepala. “Tidak selamanya masalah dapat diselesaikan dengan bicara baik-baik. Tergantung orang yang dihadapi. Dan persoalan sekarang ini harus dengan caraku. Ada benarnya juga perkataan Deng Xio Ping itu, ‘Masalah-masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam.’”
Sahabatku itu terdiam. Agak lama ia memperhatikan apa yang aku lakukan.
“Kamu yakin? Sudah bulat?”
“Yakin. Aku harus membela negara ini. Dulu kakekku adalah pejuang. Ia tidak mau negaranya diacak-acak oleh negara lain. Ia meledakkan gudang mesiu Belanda dengan bom di tangan. Begitu pun denganku.”
“Bukan dengan menjadi pembom bunuh diri ‘kan?”
“Kenapa nggak? Malaysia sudah terlalu banyak menginjak-nginjak harga diri negara kita. Warganya yang bernama Dr. Azhari dan Noordin M. Top pernah menimbulkan kepanikan, kerusakan, kekhawatiran. Buruh migran kita pun telah lama disiksa habis-habisan. Tidak digaji. Diperkosa. Beberapa orang diantaranya cacat permanen bahkan banyak juga yang sampai meninggal.”
“Tapi itu tugas negara untuk menyelesaikannya.”
“Kalau pemerintah hanya berdiam diri? Bisa habis kesabaran ini. Lagi pula jangan terlalu menggantungkan semuanya kepada negara. Aku pun bisa melakukannya. Jangan tanya apa yang negara berikan untukmu tapi berikanlah apa yang dapat kamu berikan untuk negara,” ujarku sok intelek menirukan ucapan seorang tokoh.
“Dengan cara menjadi pelaku bom bunuh diri?”
“Ya, akan aku ledakkan menara kebanggaan Malaysia itu. Petronas Twin Tower akan hancur.”
Aku telah memunggung tas ransel itu. Aku bersiap berangkat.
“Satu dua hari ini, lihatlah berita di televisi. Akan ada berita menggegerkan dari negeri Jiran itu. Aku yang membuatnya. Aku pelakunya. Aku yang bertanggungjawab.”
Aku terdiam beberapa saat. Kemudian, “Mohon maaf jika aku punya kesalahan. Aku memang orang biasa. Tapi aku ingin membuat sejarah. Selama ini aku merasa tidak diperhatikan. Padahal aku ingin berbuat sesuatu bagi negara ini. Dan kali ini siapapun akan memperhatikan aku. Aku akan menjadi pusat perhatian dunia.”
“Kamu akan disebut teroris. Seperti Dr. Azhari dan Mat Top itu,” ujarnya.
“Ya, aku akan disebut teroris oleh warga dan pemerintah Malaysia. Tapi aku yakin bangsaku akan menyebutku pahlawan. Berbeda bukan dengan dua warga Malaysia itu? Mereka tidak disebut pahlawan oleh bangsanya.”
“Benarkah? Kamu yakin? Kamu akan mati!” teriaknya
“Aku pun bisa selincah Noordin M. Top. Lagi pula mumpung kita belum mati, perbuatlah sesuatu yang bermanfaat, yang berguna, untuk agamamu, untuk keluargamu, untuk bangsamu, untuk umat manusia. Jangan pergunakan usia yang pendek ini dengan hal-hal yang tidak berguna,” ujarku lembut.
“Tapi kamu sendiri?”
“Ah, sudahlah. Kamu tidak akan pernah mengerti. Lebih baik berdoa saja agar aku bisa melaksanakan misi ini dengan sempurna.”
Kami lama terdiam.
“Ya, kalau ini sudah menjadi pilihanmu, aku hanya bisa mendoakan. Semoga cita-cita kamu tercapai. Impianmu bisa terlaksana. Seperti katamu bisa membuat sejarah. Membela bangsa ini. Aku juga minta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku perbuat.”
Kami bersalaman. Kami berpelukan.
“Sekali lagi maafkan aku. Selamat tinggal,” ucapku untuk terakhir kalinya.
***
Telah berulang kali aku memikirkan risiko yang akan aku tanggung jika melakukan hal ini. Dan aku tahu detil semuanya. Aku telah memprediksikannya. Bagaimana jika aku ketahuan duluan? Ditangkap? Ditembak? Ah, semuanya sudah ada otakku. Aku tahu segala sesuatu ada risikonya. Dan aku harus mengambil risiko itu.
Aku sudah bosan dengan kelakuan anak-anak Jiran yang mengakunya serumpun, tapi tidak mencerminkan pengakuannya itu. Dengan seenaknya saja ia mengaku blok Ambalat menjadi wilayahnya. Hanya karena sekarang mereka mengetahui di sana terkandung minyak yang melimpah, kekayaan laut yang tidak terhitung. Tidak hanya itu, para pekerja kita banyak yang disiksa. Beberapa orang cacat permanen. Sebagian kembali ke Indonesia hanya raganya saja. Beratus orang tidak digaji.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa mereka memperlakukan kami seperti tidak bermoral? Aku ingat sebuah pengalaman beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama tiga orang teman melakukan penelitian di Gunung Buda atas undangan Universiti Malaysia Sarawak. Ketika di Entikong, aku ingin buang air kecil. Aku pun menuju tandas awam. Sesampainya di sana aku melihatnya jorok dan bau. Aku bertanya kepada seorang petugas, kenapa toiletnya jorok begini? Apa jawaban yang aku dapatkan. Dengan seenaknya ia mengatakan, “Karena banyak orang Indon yang kencing di situ.” Kurang ajar benar!
Dalam ucapan itu terkandung dua perkataan yang menyinggungku. Apakah benar kami yang mengotorinya? Apakah ada bukti nyata, statistik, prosentase yang membuktikan bahwa kami yang mayoritas buang air kecil di WC itu? Itu yang pertama. Yang kedua, kenapa ia menyebut kami Indon. Sepertinya bermakna peyoratif. Melecehkan. Waktu itu aku langsung berteriak marah, “DONT’ CALL US, INDON! KAMI INDONESIA! BUKAN INDON!” Kalau temanku tidak menghalangi sudah aku pukul petugas itu. Kalau aku tidak tahu etika sudah aku sebut dia dengan Malingsia. Plesetan dari Malaysia. Tapi itu tidak aku lakukan. Aku tidak mau menyakiti hati orang lain.
Aku menghela napas panjang.
Aku melihat keluar, melalui jendela pesawat yang membawaku dari Bandara Soekarno Hatta. Terlihat biru luas terbentang. Beberapa awan putih bergulung-gulung. Aku melihat jam. Menurut pramugari, sebentar lagi kami akan mendarat di Kuala Lumpur. Kami pun telah diminta untuk memakai sabuk pengaman.
Aku kembali termenung. Apa yang menyebabkan warga negara Jiran itu melakukan tindakan seperti itu? Apakah karena kami, warga negara Indonesia di sana, tidak berpendidikan? Tidak mengerti aturan? Tidak disiplin? Kalaupun memang kelakuan kami tidak bagus, apakah pantas kami diperlakukan tidak beradab? Dilecehkan?
Ah, kenapa aku seemosional ini. Harusnya aku tahu, mereka adalah oknum. Tidak semua warga Malaysia seperti itu. Beberapa diantaranya juga memperlakukan orang Indonesia dengan baik.
***
Aku mendarat dengan selamat di Malaysia.
Aku menyewa kamar murahan di KL. Meski agak jauh dari pusat kota aku masih bisa melihat bangunan megah yang pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia yang dibangun oleh Cessar Pelli itu. Dari sana pula aku bisa melihat Menara KL yang berketinggian 421 meter. Tinggi. Langsing. Lebih tinggi dibandingkan dengan Monumen Nasional di Jakarta yang hanya memiliki ukuran 132 meter.
Esoknya. Aku berpakaian seperti eksekutif muda. Berpantalon dan berjas. Dasi yang senada dengan kemeja yang aku kenakan, melilit leherku. Aku menjinjing sebuah tas kantor tempat disimpannya bom yang akan aku ledakkan di Petronas Twin Tower itu.
Aku memasuki pelataran Petronas. Aku berhenti sebentar. Aku mendongak ke atas. Aku melihat dua menara yang berwarna kehijauan yang dihubungkan dengan jembatan di lantai 41 dan 42. Bangunan itu sangat megah. Tinggi, besar, menjulang dengan dua crown yang menusuk udara siang panas menggigit. Desain luar Petronas merupakan perpaduan antara corak Islam dan Melayu. Corak Islam kentara sekali pada desain luar yang mendasarkan pada pola geometris dua lingkaran, ditumpuk dengan bentuk persegi dan lingkaran kecil di dalamnya. Sedangkan corak Melayu sangat terlihat di pintu masuk. Antara lain tampak dari motif kerajinan tradisional songket, beserta ukiran-ukiran kayu yang menunjukkan ciri Malaysia.
Tidak lama aku memperhatikan bangunan megah itu. Aku menuju menara kedua. Aku masuk ke dalam dan langsung menuju lift. Aku masuk ke dalam lift. Langsung ke lantai 41, yaitu jembatan penghubung yang diperuntukkan bagi para pengunjung yang dapat menikmati pemandangan KL dari ketinggian 170 m.
Tidak lama aku telah mencapai lantai yang aku maksud. Aku berdiri di jembatan itu. Aku melihat ke luar. Suasana terang benderang. Karena kaca berwarna kehijauan memasukkan cahaya sebanyak mungkin. Gedung-gedung di luar terlihat pendek. Aku berjalan di jembatan itu. Besi berukuran sekepalan tangan sejajar jembatan di kedua sisinya. Aku berhenti. Konstruksi jembatan kembali membuatku kagum. Panjangnya 58.4 M dengan bobot 750 ton ditopang oleh empat buah busur yang dikaitkan dengan lantai 29. Dua pasang busur ini membentuk sudut 630 dengan kedua menara. Menurut literatur yang aku baca, pembuatan dan perakitan jembatan itu dilakukan di Korea Selatan. Setelah selesai baru dikapalkan ke KL dengan jumlah potongan mencapai 500 potong.
Aku tersadar. Aku berhenti mengagumi bangunan itu. Aku harus melakukan niatku. Aku melihat sekeliling. Banyak pengunjung di sana. Aku terdiam sejenak. Tidak mungkin rasanya aku melakukan apa yang telah mengakar di hatiku. Terlalu banyak orang. Aku berpikir sebentar. Tapi aku tidak mau gagal. Aku tidak boleh gagal. Aku harus membuat sejarah. Aku harus membela kehormatan bangsaku. Tapi bagaimana caranya? Terlalu banyak orang di sini. Ah, kenapa aku tidak meniru apa yang dilakukan oleh Felix Baumgartner saja? Ya, benar! Aku harus menirunya.
Aku langsung menuju lantai 93 dengan menggunakan lift. Beruntung aku telah memalsukan tanda pengenal. Sebenarnya pengunjung hanya diperbolehkan hingga lantai 41. Tapi dengan tanda pengenal palsu ini aku bisa ke mana saja. Selama tidak ketahuan tentu saja.
Aku sampai di lantai 93. Aku keluar dari lift. Aku keluar dari dalam bangunan itu. Aku langsung disambut oleh angin yang berhembus sangat kencang. Dipadu udara siang yang terik menggelitik.
Aku menuju sebuah tiang, tempat diikatnya keranjang pengangkut petugas pembersih jendela. Tiang itu agak menjorok ke luar. Aku berdiam di sana. Sejenak aku menikmati pemandangan yang sangat luar biasa. Gedung-gedung di bawah kelihatan sangat pendek. Di beberapa tempat rimbunan pohon seperti beledru berwarna hijau. Terserak di mana-mana. Aliran sungai seperti ular. Meliuk-liuk, dan di beberapa tempat bersinggungan serta berpotongan dengan jalan raya. Kotak-kotak kecil merayap seperti ulat.
Sebenarnya hatiku bergetar ketika melihat ke bawah. Hatiku mengkerut. Untuk menghilangkan keraguan, aku ucapkan berulang-ulang dalam hati, “Aku harus membuat sejarah. Di sinilah, hari ini, jam ini sejarah itu akan dibuat.”
Setelah agak tenang, aku segera mengeluarkan parasut dari tas kerja yang aku bawa. Aku pakaikan di setelan jas kantorku. Tidak lupa aku ikatkan juga bom yang aku bawa dari Jakarta. Aku ikatkan di tiang tempat aku berdiri. Aku memandang ke bawah. Aku mengira-ngira arah angin. Jangan sampai aku terbentur dengan dinding menara karena salah dalam menerka arah. Aku membayangkan menjadi seorang Baumgartner, base jumper nomor wahid pemilik Petronas itu. Aku pun meloncat. Aku melayang. Gravitasi langsung mengisap tubuhku dengan kuat. Aku meluncur tanpa halangan. Angin berhembus dengan kencang.
Tidak lama aku berada dalam keadaan tanpa bobot itu. Hanya lima detik. Aku langsung menarik seutas tali. Parasut pun mengembang. Di bawah, beberapa petugas berseragam berlarian. Mereka telah bersiaga di sana ketika melihatku meloncat dari menara. Mereka pasti akan menangkapku ketika menjejakkan kaki di tanah. Kepala-kepala mereka mendongak. Hal itu menarik perhatian para pengunjung di pelataran. Mereka pun ikut melihat ke atas. Beratus pasang mata memperhatikanku dengan tatapan kagum. Tapi itu tidak lama. Mata mereka memperhatikan bom yang aku pasang. Bom itu, sebuah benda yang akan membuatku masuk dalam sejarah itu, telah berkibar di sana. Bom yang aku pasang itu adalah bendera besar bertuliskan: DON’T CALL US INDON!


1 komentar:
Harrah's Resort Southern California, Funner - Mapyro
This 5-star resort features 이천 출장안마 luxurious rooms and suites, five signature restaurants, 광양 출장안마 a casino, an 경주 출장샵 outdoor pool 천안 출장마사지 and a seasonal outdoor pool. 남양주 출장안마
Posting Komentar