Kata beberapa teman, ibuku sangatlah jalang. Sundal. Aku pun dijuluki
anak haram. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak pernah mendengarkan apa yang
mereka katakan. Bukan karena tidak peduli, sebenarnya. Tapi karena memang
begitulah kenyataannya. Aku sering melihat ibuku berkasih-kasihan dengan orang
lain. Bahkan yang paling edan, ia sering melakukan hal serupa dengan kakakku!
“Kenapa kamu tidak melarangnya melakukan hal itu?” seorang teman
mengajakku berbicara.
“Biarlah,” jawabku pendek. “Yang penting jangan denganku.”
“Tapi dia ibumu!”
“Ya, dan aku akan tetap menghormatinya sampai kapanpun.”
“Kalau ibumu seperti, maaf, pelacur itu kamu diam saja?”
“Ya, hal inilah yang aku lakukan. Dan ini menurutku lebih baik.”
“Lebih baik? Katamu lebih baik? Seharusnya kamu menasehatinya. Itu yang
dikatakan baik. Bimbing beliau di jalan yang benar.”
“Tapi bagiku ini yang lebih baik. Tahu kenapa?”
“Kenapa?” tanyanya spontan.
“Aku pun sebenarnya sering ditawari …”
“Ditawari apa?”
“Diajak…”
“Diajak apa?” kejarnya.
“Ya, begitulah….”
“Begitulah bagaimana?” tanyanya penasaran.
“Diajak ber-….” Aku akan mengatakan bersetubuh. Tapi aku urungkan. Aku tidak
mengatakan hal itu. Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Tapi aku yakin ia paham apa
yang aku maksud.
“Berse…,” kata-katanya tercekat. Lanjutnya, “Oleh ibumu?”
Aku mengangguk.
“Selanjutnya?”
“Ya, aku kabur. Aku tidak akan pernah menyentuh ibuku sampai kapanpun.”
Temanku itu melongo. Mungkin ia tidak percaya ibuku sebinal itu. Tapi
memang begitulah kelakuannya. Aku tidak ambil pusing. Yang penting aku tidak
melakukan hal tercela itu dengan beliau.
Aku tidak tahu, aku tidak pernah paham, aku tidak mengerti, kenapa beliau
sering melakukan hal itu? Apakah keinginannya pribadi? Apakah ia dibayar?
Apakah ia dirayu? Apakah hasratnya sedemikian besar? Dan beribu apakah lain
bergelayut dalam hatiku. Hanya yang jelas ibuku sering melakukannya. Kapanpun
dan dimanapun. Ia selalu melakukannya bahkan dengan siapa saja. Termasuk yang
baru dikenalnya.
Aku tidak akan pernah lupa dengan seupil pengalaman ketika kami masih kecil.
Aku dan kakakku berjalan-jalan dengan beliau. Dalam perjalanan itu, ibuku
melihat lawan jenis yang menarik perhatiannya. Ia pun mendekatinya. Bercumbu
rayu. Menggelendot mesra. Dan tiga menit kemudian, mereka pun bercinta di
hadapan kami!
Begitulah kelakuannya. Begitulah perbuatannya. Begitulah kesehariannya. Tidak
mungkin dapat aku cegah. Ia mempunyai jalan sendiri. Aku tidak akan pernah mencampurinya.
Itu adalah haknya. Aku juga tidak akan mencampuri urusan kakakku yang sering
berhubungan dengan ibu. Biarlah ia menjalani kehidupannya selama tidak
mengajakku untuk melakukan hal yang tidak baik. Aku akan enjoy aja. Aku akan diamkan ia berbuat semaunya. Beda jika ia
mengajakku melakukan hal yang buruk. Prinsipku adalah perbuatanmu, tanggung
jawabmu. Perbuatanku, tanggung jawabku. Jika akan melakukan apa pun terserah
saja. Tapi jangan ajak aku untuk melakukan hal itu. Aku pun tidak akan pernah
mengajak orang lain untuk berbuat seperti yang aku kehendaki.
***
Udara malam dingin menggigit. Angin mati. Suasana senyap. Aku tidur
membelakangi ibuku yang berangkulan dengan kakakku. Mereka tidur berdekatan.
Untuk mengurangi udara dingin yang membungkus rumah kami. Aku tidur tidak
tenang. Karena takut tergoda rayuan ibuku.
Hampir setiap malam kami tidur seperti ini. Kami tidak punya apa yang
disebut kamar terpisah. Kami tidak mempunyai ruangan khusus. Jadi wajar jika
mereka –ibu dan kakakku- sering melakukan hal itu.
Aku mengerjapkan mata. Mata ini masih muda. Tapi nampaknya kurang berfungsi
dengan baik. Kembali aku mengedipkan mata. Aku melihat ada bayangan barusan.
Aku tidak tahu siapa. Aku juga tidak tahu apakah yang aku lihat itu adalah benar
ataukah hanya perasaan saja.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah gerakan halus di belakangku. Sesosok
tubuh hangat mendekapku. Aku berbalik. Aku terkejut. Ibuku!
Aku segera bangkit.
“Ayolah!” ajak beliau.
Aku mengelak.
“Kenapa sih selalu tidak mau?”
Aku mundur. Aku tidak mau melakukan hal itu.
“Tidak akan ada yang tahu. Tidak akan ada yang menyalahkan kita.”
“Plis, Bu jangan lakukan itu. Jangan.
Aku menghormati Ibu. Jika memang itu kebiasaan Ibu, jika memang tidak aturan
yang melarangnya, biarlah hal itu terjadi. Yang jelas aku menghormati Ibu
karena aku berasal darimu,” bicaraku tersendat.
“Ayolah …” ajaknya sambil mendekat.
Tapi aku tidak mau. Aku tidak akan sudi melakukannya. Aku berbalik. Aku
berlari.
“Nak, sekali saja,” teriaknya.
Aku meninggalkan gubuk tempat kami hidup. Aku berlari di jalan yang gelap
dan sepi. Sebenarnya aku takut. Daerah kami adalah daerah yang tidak aman. Kami
punya cukup banyak musuh. Tidak siang, tidak malam. Mereka selalu muncul dari
mana saja.
Aku berjalan dengan penuh ketakutan. Entah aku akan kemana aku tidak
tahu. Yang pasti aku harus berjalan. Aku harus menjauhi ibuku. Aku terus
melangkah. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Aku berjalan mengendap-ngendap. Terseok-seok.
Karena mataku tidak awas. Karena fungsi penglihatanku tidak optimal.
Tiba-tiba terdengar derap langkah. Aku tidak tahu siapa. Aku berlindung
di balik bayangan sebuah pohon. Aku memperhatikan mereka. Tiga sosok manusia
berjalan beriringan. Kepala mereka ditutupi sebuah kain. Tidak itu saja, sebilah
sarung melilit badannya. Mungkin untuk melindungi tubuh dari gigit geram nan ganas
dingin malam hari. Tangan salah seorang dari mereka –yang berjalan paling
depan- menggenggam senter.
Aku masih menyelinap di balik pohon itu. Aku berdiri di sana. Menghindar dari mata tajam mereka. Aku
menunggu hingga mereka berlalu.
Aku akan berjalan. Tapi aku urungkan. Tampaknya ada yang ganjil. Aku
merasakan ada hal aneh. Mereka tampaknya menuju arah yang sangat aku hafal. Tapi…
benarkah? Aku bimbang. Tapi jujur, langkah mereka mencurigakan. Terlalu banyak
hal serupa itu yang pernah aku lihat. Tidak malam ini saja. Juga beberapa malam
yang lain. Tampaknya mereka bermaksud jahat.
Akhirnya dengan sedikit berlari aku mengikuti mereka. Dan benar mereka
menuju ke sana.
Mereka menuju arah yang sangat aku hafal!
Tidak lama tiga orang laki-laki
itu sampai di sana.
Mereka telah berdiri di depan tempat itu. Aku memandangi mereka dari kejauhan.
Mereka akan berbuat akan jahat!
Benar, mereka akan berbuat jahat! Apa yang harus aku lakukan? teriakku
dalam hati.
Tangan salah seorang dari mereka mendorong sebuah pintu. Tangan itu
terulur, meraba-raba dalam keremangan. Tangan itu menggenggam sesuatu. Ditariknya,
diserahkannya sesosok benda yang menguik lemah ke tangan kawannya yang berdiri
tidak jauh dari sana.
“Kok hanya dua?” tanya laki-laki yang di depan. Tangannya terus meraba-raba.
“Tidak ada lagi?”
“Ya.”
“Sudahlah. Dua saja cukup untuk kita bertiga,” jawab salah seorang dari
mereka.
“Cukup? Tapi aneh.”
“Udah dua aja cukup. Yang satu untuk malam lain.”
Mereka beranjak dari tempat itu. Aku tertegun. Apa yang harus aku lakukan?
Ini adalah kejahatan. Mereka telah mengambil barang yang bukan haknya. Itu
namanya pencurian! Lagipula itu ‘kan….
Aku kembali terdiam. Aku berpikir. Sebenarnya aku lemah. Tidak bisa
berbuat apa-apa. Tidak berdaya. Tapi apakah aku harus diam? Apakah prinsipku
yaitu perbuatanmu adalah tanggung jawabmu. Perbuatanku adalah tanggung jawabku
adalah benar? Jika akan melakukan apa pun –termasuk kejelekan- terserah saja,
silahkan saja, asal jangan mengajakku adalah juga tepat?
Aku lama berpikir. Aku lama berkutat dengan nuraniku. Tampaknya ada yang
salah dengan prinsipku. Dan aku harus berubah. Aku harus mengubah prinsipku.
Aku harus berbuat sesuatu meski aku lemah. Aku harus bertindak. Aku harus
berbuat.
Aku putuskan untuk mengikuti mereka. Aku berlari-lari kecil di belakang mereka
yang telah berjalan cukup jauh. Meski mataku kurang awas, pendengaranku masih
bisa berfungsi dengan baik. Aku masih bisa mengenali langkah-langkah kaki
mereka.
Tiga orang itu tiba di sebuah pos ronda. Mereka masuk ke dalamnya. Dua orang
duduk di balai-balai. Satu orang jongkok menyalakan api unggun. Aku
memperhatikan mereka. Aku tidak langsung masuk.
“Kayaknya ketuaan,” cetus salah seorang dari mereka.
“Ya, lumayanlah dari pada tidak ada.”
“Tapi dagingnya pasti sudah alot.”
“Jangan banyak cincong. Yuk kita sembelih,” ujar yang duduk di bale-bale
sambil menghunus pisau. Ia beranjak mendekati temannya itu.
Hampir aku berteriak ketika pisau itu terhunus. Kilatan mata pisaunya
yang tajam menyilaukan mataku. Sejenak aku ragu. Apa yang harus aku lakukan?
Apakah aku harus mundur?
Kedua orang itu mulai memegangi ayam yang mereka curi. Bulu-bulu di
sekitar lehernya telah dicabuti. Seorang dari mereka memegangi kaki dan
sayapnya. Yang seorang lagi -yang memegang pisau- memegangi kepalanya. Pisau
yang tajam itu telah didekatkan ke lehernya yang licin. Aku terhenyak. Aku
tidak tega. Aku berteriak sambil berlari mendekat, “Lepaskan!”
Tapi mereka tidak mendengar apa yang aku semburkan. Pisau pun menggores
leher jenjang itu. Aku terpana menyaksikan darah yang menyemburat muncrat ke
tanah. Ayam itu menggelepar-gelepar kesakitan. Ketiga orang itu tersenyum puas.
Salah seorang dari mereka kembali menyerahkan ayam satunya lagi yang berada di
tangannya. Dua orang yang barusan melakukan penyembelihan itu kembali
berjongkok. Mereka bersiap melakukan eksekusi yang kedua kalinya.
Kali ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencegahnya. Aku berlari
mendekat dan berteriak. Kali ini mereka mendengarkanku. Salah seorang dari
mereka menoleh. Wajahnya cerah. Ia berujar, “Rezeki nomplok. Ada satu ayam lagi. Sekarang satu orang satu
ekor. Kita pesta besar malam ini.”
Ia turun dari bale-bale. Ia berusaha untuk menangkapku. Tidak berapa lama
aku dapat ditangkapnya. Aku pun hanya bisa menguik lemah melihat jasad ibu dan
kakakku yang telah terbujur kaku. Darah pun muncrat dari leherku diiringi lenguh
suara temanku sesama ayam di pagi yang menggigil itu, “Kukuruyuuuuuukk.”
Terinspirasi oleh dua ekor ayam
yang melakukan insest. Aku ingin mencegah mereka melakukan hal itu, namun aku
tidak paham bahasa ayam. Lagipula KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perhewanan) pasal
berapakah yang dilanggar oleh mereka berdua? ^_^V
0 komentar:
Posting Komentar