Sirene mobil ambulans yang kutumpangi meraung-bergaung sepanjang jalan. Ban mobilnya berdecit-decit dalam kulit kelokan. Mobil-mobil menyingkir membuka tabir jalan. Ambulans terus berlari sambil membawa isteriku yang sedang pingsan. Aku memegangi tangannya yang lemah. Mulutnya berbusa. Matanya terpejam.
Mobil
berwarna putih itu terus lurus, meluncur. Kemudian berbelok tajam
dalam kelok jalan sebuah halaman rumah sakit. Setelah berhenti para
perawat yang telah menanti dengan kereta dorong disampingnya, masuk
ke dalam mobil. Mereka langsung memindahkan isteriku ke kereta dorong
itu dan membawanya ke masuk ke sebuah ruangan dengan tergesa.
“Bapak
tunggu saja di sini,” pinta perawat yang berhidung mancung.
“Tapi….”
“Iya,
saya mengerti. Bapak tunggu saja di sini,” katanya sambil menutup
pintu.
Aku
hilir mudik di depan ruangan itu. Gelisah. Tak tahu harus berbuat
apa. Hanya gumam-gumam doa yang dapat kupanjatkan. Tiba-tiba sebuah
dering merdu terdengar di telingaku. Aku meraba kantung celana. Dari
ibuku.
“Halo.
Di rumah sakit sekarang. Belum tahu. Masih diperiksa oleh dokter. Ya,
ya.”
Setelah
itu terdengar tut, tut pendek tanda hubungan telepon itu
terputus.
Aku
bersandar pada dinding ruang instalasi rawat darurat yang berwarna
putih itu. Lama. Hingga seorang perempuan bercelana jeas datang dari
lorong sebelah. Ia tersenyum.
“Darimana
kamu?” tanyaku. Sambil melirik ke sana kemari. Takut dipergoki oleh
orang yang mengenalku.
“Menjenguk
teman. Nungguin siapa?” senyumnya tercipta.
“Asti,”
jawabku singkat. Ia mengerti ketika aku menyebut nama itu.
“Memang
kenapa?” tanyanya setengah berbisik.
“Sakit,”
jawabku singkat.
Ia
mengerti. Ia pun berlalu setelah mengatakan agar aku bersabar. Ia
melenggang menuju halaman parkir. Bersamaan dengan munculnya ibuku
dari tempat yang sama.
“Kamu
masih berhubungan dengan perempuan itu?” tanya ibuku dengan ketus.
“Siapa?”
“Alah
pura-pura. Sinta!”
“Tidak,”
jawabku berbohong.
“Tadi,
ibu lihat dia di depan.”
“Ibu,
tidak saatnya kita memperbincangkan hal ini. Lagi pula bisa jadi dia
sedang menjenguk temannya. Yang jelas ia tidak bertemu denganku.”
Ibuku
terdiam. Ketika itu seorang dokter perempuan berpakaian putih-putih
keluar dari ruangan IRD itu. Beliau tersenyum.
“Masa
kritisnya sudah lewat. Bersyukurlah ia hanya perlu istirahat beberapa
saat.”
Aku
senang mendengarnya. Aku masuk membuntuti ibuku yang telah lebih dulu
masuk ke kamar tempat Asti dirawat. Asti tampak seperti tertidur.
Matanya terpejam. Di bawah hidungnya melintang selang oksigen yang
terhubung dengan tabung yang berdiri di sisi kanannya. Di sisi kiri
berdiri sebuah besi kecil tempat bergantungnya sebuah tabung infus.
Di bawah tabung itu selang sepanjang satu meter terjulur sampai di
lengan kirinya. Sedangkan agak ke belakang, di atas meja terpasang
sebuah monitor dengan layar yang menampilkan gelombang meliuk-liuk.
Memperlihatkan gelombang denyut jantung pasien.
Melihat
hal itu aku terenyuh. Rasa berdosa menyemak dalam benak. Telah lama
aku menyia-nyiakannya. Selama ini aku menganggapnya hanya seorang
perempuan yang diinginkan oleh ibuku. Bukan seorang isteri yang
dibutuhkan olehku. Asti hanya seorang isteri pemberian!
***
Pintu
depan terbuka.
Masuklah
sosok yang aku kenal, ibuku. Ia mengiringkan seorang cantik berambut
tebal nan ikal. Tingginya beberapa senti lebih tinggi dibandingkan
tinggi ibuku yang hanya 170 senti. Kulitnya bersih. Wajahnya ramah.
Ia memakai rok selutut warna biru tua dan kemeja lengan panjang.
Tangannya membawa tas kecil berwarna putih.
Ibu
berkata padaku, “Di, kenalkan ini Asti puterinya mas Nugroho yang
teman ibu itu.”
Aku
beranjak dari tempat dudukku. Aku menyalaminya. Aku kembali duduk.
Dan aku meneruskan membaca koran.
“Silahkan
duduk,” kata ibuku pada perempuan itu.
Asti
duduk di kursi di depanku. Ia kelihatan gelisah. Mungkin karena aku
sebagai tuan rumah tidak mengajaknya bicara. Ia tampak canggung.
Tangannya meremas jari-jari tangan kirinya. Tapi itu tidak lama.
Ibuku yang telah berganti pakaian menemui kami sambil membawa
hidangan yang langsung disimpannya di atas meja.
Itulah
pertama kalinya aku mengenal perempuan yang bernama Asti. Di ruang
tamu itu. Dan sejak saat itu, Asti sering datang ke rumah kami. Dan
kemudian aku tahu, ia telah dijodohkan denganku. Awalnya tentu saja
aku menolaknya. Emangnya zaman Siti Nurbaya, kilahku menirukan
kata-kata yang diucapkan pesinetron di televisi Indonesia yang entah
kapan akan menemukan kualitasnya. Selain itu aku telah mempunyai
seseorang yang aku anggap pantas menjadi isteriku. Itulah Santi. Tapi
ia kurang disukai oleh keluargaku. Ia sangat tomboy. Berbicara
spontan. Kurang mengerti sopan santun.
Tapi
bagiku hal itu tak mengapa. Aku malah menyukainya. Bagiku kesopanan
itu kurang perlu. Aku tak suka jika ada tamu ke rumahku dengan badan
terbungkuk-bungkuk. Aku kurang suka jika melihat ada orang yang
mencium tangan orang tuaku. Siapa pun itu. Pokoknya sikap merendahkan
diri seperti itu tidak aku sukai. Apapun dalihnya.
Aku
menyukai sikap yang biasa-biasa saja. Pikirku, kita adalah sama.
Punya kelebihan dan kekurangan. Kita tidak patut untuk saling
merendahkan diri di hadapan orang lain. Seharusnya setiap manusia
bersikap sewajarnya. Dan sikap inilah yang aku sukai pada diri Santi.
Ia bebas dengan kegiatannya seperti naik gunung. Berkemah. Ia pun
selalu menyebutku dengan langsung, Didi. Berbeda dengan Asti. Ia
selalu kelihatan anggun, sopan, berbicara lemah lembut. Ia bahkan
memanggilku dengan sebutan Akang.
Tapi
akhirnya aku tidak dapat menolak perjodohan itu. Aku tidak dapat
menolak permintaan dari ibuku. Aku tak ingin melukai hatinya yang
telah memberikan kasih sayangnya selama ini kepadaku. Beliau
mengatakan bahwa orang tua Asti yang membiayai pengobatan ayahku
ketika beliau sakit. Orang tua Asti pula yang membiayai sekolahku.
Bahkan mereka pula yang memodali ibu hingga usahanya berkembang
pesat. Waktu itu aku bergumam, kejadian yang mirip cerita sinetron
itu ternyata menyapaku juga.
Tapi
itulah. Aku tidak dapat melepaskan diri dari Santi. Pesonanya telah
mengikatku. Selain itu, aku berempati kepadanya. Aku membimbingnya
agar ia dapat melupakan masa lalu kami dan menemukan laki-laki yang
baik sebagai pengganti diriku. Tapi ternyata jalan yang kutempuh
adalah salah. Dengan begitu aku makin terikat pada Santi. Aku pun
sering melupakan kewajibanku sebagai suami. Kadang sampai
berhari-hari aku tidak pulang.
Dan
hari ini –dua tahun setelah kami menikah dan mempunyai seorang
anak- aku menemukan isteriku di tempat tidurnya dengan mulut berbusa.
Mungkin ia tidak kuat dengan menghadapi kelakuanku yang tidak
bertanggungjawab. Ia mencoba bunuh diri. Surat di sampingnya
menyiratkan hal itu. Tapi, aku tak berterus terang pada ibuku tentang
surat itu. Ia pasti akan marah besar jika tahu penyebab kenapa Asti
akan melakukan bunuh diri. Beliau pasti tidak akan memaafkanku.
***
Dua
hari berlalu sejak Asti dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya naik
turun. Kadang stabil, kadang drop. Seperti hari ini, ia tampak lemah.
Denyut jantungnya turun sampai beberapa puluh denyut per menit.
Suaranya nyaris tidak terdengar. Ia berbicara dengan terpatah-patah.
Ia mengucapkannya dengan lemah.
“Kang,
maafkan aku, Kang. Aku tidak bisa membahagiakan Akang.”
Ia
menarik napas panjang sekali.
“Saya
mau berwasiat kepada Akang.”
“Asti,
kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kamu akan sembuh.”
“Dengarkan
aku, Kang. Akang sekarang yang harus mendengarkan Asti.”
Ia
berhenti lagi.
“Aku
tahu, Akang sangat mencintai perempuan itu. Sejak lama.”
Napasnya
terengah. Ia kelihatan sangat susah untuk bernapas meski telah
dibantu dengan alat bantu pernapasan. Aku memegangi tangannya. Aku
menciuminya. Aku minta padanya untuk tidak melanjutkan kata-katanya
yang memerindingkan bulu kudukku.
“Kalau
aku sudah tiada, kalau Akang ingin menikah kembali silahkan saja.
Tapi ada syaratnya. Dan syarat ini harus Akang penuhi.”
Ia
berhenti sebentar. Aku tidak tahu, bahagia atau sedih mendengarnya.
Ternyata ia sangat baik. Di akhir hayatnya ia masih memikirkan aku,
suami yang telah menyia-nyiakannya.
“Yang
pertama, di-didik anak ki-kita dengan ba-baik,” ucapnya diantara
napasnya yang tersengal. Ia terdiam sebentar.
“Yang
kedua, Ka-kalau mau me-menikah lagi tu-tunggu…sampai ku-kuburku
telah ke-kering. D-Dan yang ke-ketiga, sirami kuburku de-dengan a-air
se-setiap ha-hari.”
Ah,
aku terperanjat. Bagaimana mau kering kalau kuburnya harus disirami
setiap hari? Inikah balasan untukku, seorang suami yang telah
menyia-nyiakan isterinya?
0 komentar:
Posting Komentar