Minggu, 08 September 2013

Asti, Isteriku



Sirene mobil ambulans yang kutumpangi meraung-bergaung sepanjang jalan. Ban mobilnya berdecit-decit dalam kulit kelokan. Mobil-mobil menyingkir membuka tabir jalan. Ambulans terus berlari sambil membawa isteriku yang sedang pingsan. Aku memegangi tangannya yang lemah. Mulutnya berbusa. Matanya terpejam.
Mobil berwarna putih itu terus lurus, meluncur. Kemudian berbelok tajam dalam kelok jalan sebuah halaman rumah sakit. Setelah berhenti para perawat yang telah menanti dengan kereta dorong disampingnya, masuk ke dalam mobil. Mereka langsung memindahkan isteriku ke kereta dorong itu dan membawanya ke masuk ke sebuah ruangan dengan tergesa.
Bapak tunggu saja di sini,” pinta perawat yang berhidung mancung.
Tapi….”
Iya, saya mengerti. Bapak tunggu saja di sini,” katanya sambil menutup pintu.
Aku hilir mudik di depan ruangan itu. Gelisah. Tak tahu harus berbuat apa. Hanya gumam-gumam doa yang dapat kupanjatkan. Tiba-tiba sebuah dering merdu terdengar di telingaku. Aku meraba kantung celana. Dari ibuku.
Halo. Di rumah sakit sekarang. Belum tahu. Masih diperiksa oleh dokter. Ya, ya.”
Setelah itu terdengar tut, tut pendek tanda hubungan telepon itu terputus.
Aku bersandar pada dinding ruang instalasi rawat darurat yang berwarna putih itu. Lama. Hingga seorang perempuan bercelana jeas datang dari lorong sebelah. Ia tersenyum.
Darimana kamu?” tanyaku. Sambil melirik ke sana kemari. Takut dipergoki oleh orang yang mengenalku.
Menjenguk teman. Nungguin siapa?” senyumnya tercipta.
Asti,” jawabku singkat. Ia mengerti ketika aku menyebut nama itu.
Memang kenapa?” tanyanya setengah berbisik.
Sakit,” jawabku singkat.
Ia mengerti. Ia pun berlalu setelah mengatakan agar aku bersabar. Ia melenggang menuju halaman parkir. Bersamaan dengan munculnya ibuku dari tempat yang sama.
Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?” tanya ibuku dengan ketus.
Siapa?”
Alah pura-pura. Sinta!”
Tidak,” jawabku berbohong.
Tadi, ibu lihat dia di depan.”
Ibu, tidak saatnya kita memperbincangkan hal ini. Lagi pula bisa jadi dia sedang menjenguk temannya. Yang jelas ia tidak bertemu denganku.”
Ibuku terdiam. Ketika itu seorang dokter perempuan berpakaian putih-putih keluar dari ruangan IRD itu. Beliau tersenyum.
Masa kritisnya sudah lewat. Bersyukurlah ia hanya perlu istirahat beberapa saat.”
Aku senang mendengarnya. Aku masuk membuntuti ibuku yang telah lebih dulu masuk ke kamar tempat Asti dirawat. Asti tampak seperti tertidur. Matanya terpejam. Di bawah hidungnya melintang selang oksigen yang terhubung dengan tabung yang berdiri di sisi kanannya. Di sisi kiri berdiri sebuah besi kecil tempat bergantungnya sebuah tabung infus. Di bawah tabung itu selang sepanjang satu meter terjulur sampai di lengan kirinya. Sedangkan agak ke belakang, di atas meja terpasang sebuah monitor dengan layar yang menampilkan gelombang meliuk-liuk. Memperlihatkan gelombang denyut jantung pasien.
Melihat hal itu aku terenyuh. Rasa berdosa menyemak dalam benak. Telah lama aku menyia-nyiakannya. Selama ini aku menganggapnya hanya seorang perempuan yang diinginkan oleh ibuku. Bukan seorang isteri yang dibutuhkan olehku. Asti hanya seorang isteri pemberian!
***
Pintu depan terbuka.
Masuklah sosok yang aku kenal, ibuku. Ia mengiringkan seorang cantik berambut tebal nan ikal. Tingginya beberapa senti lebih tinggi dibandingkan tinggi ibuku yang hanya 170 senti. Kulitnya bersih. Wajahnya ramah. Ia memakai rok selutut warna biru tua dan kemeja lengan panjang. Tangannya membawa tas kecil berwarna putih.
Ibu berkata padaku, “Di, kenalkan ini Asti puterinya mas Nugroho yang teman ibu itu.”
Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku menyalaminya. Aku kembali duduk. Dan aku meneruskan membaca koran.
Silahkan duduk,” kata ibuku pada perempuan itu.
Asti duduk di kursi di depanku. Ia kelihatan gelisah. Mungkin karena aku sebagai tuan rumah tidak mengajaknya bicara. Ia tampak canggung. Tangannya meremas jari-jari tangan kirinya. Tapi itu tidak lama. Ibuku yang telah berganti pakaian menemui kami sambil membawa hidangan yang langsung disimpannya di atas meja.
Itulah pertama kalinya aku mengenal perempuan yang bernama Asti. Di ruang tamu itu. Dan sejak saat itu, Asti sering datang ke rumah kami. Dan kemudian aku tahu, ia telah dijodohkan denganku. Awalnya tentu saja aku menolaknya. Emangnya zaman Siti Nurbaya, kilahku menirukan kata-kata yang diucapkan pesinetron di televisi Indonesia yang entah kapan akan menemukan kualitasnya. Selain itu aku telah mempunyai seseorang yang aku anggap pantas menjadi isteriku. Itulah Santi. Tapi ia kurang disukai oleh keluargaku. Ia sangat tomboy. Berbicara spontan. Kurang mengerti sopan santun.
Tapi bagiku hal itu tak mengapa. Aku malah menyukainya. Bagiku kesopanan itu kurang perlu. Aku tak suka jika ada tamu ke rumahku dengan badan terbungkuk-bungkuk. Aku kurang suka jika melihat ada orang yang mencium tangan orang tuaku. Siapa pun itu. Pokoknya sikap merendahkan diri seperti itu tidak aku sukai. Apapun dalihnya.
Aku menyukai sikap yang biasa-biasa saja. Pikirku, kita adalah sama. Punya kelebihan dan kekurangan. Kita tidak patut untuk saling merendahkan diri di hadapan orang lain. Seharusnya setiap manusia bersikap sewajarnya. Dan sikap inilah yang aku sukai pada diri Santi. Ia bebas dengan kegiatannya seperti naik gunung. Berkemah. Ia pun selalu menyebutku dengan langsung, Didi. Berbeda dengan Asti. Ia selalu kelihatan anggun, sopan, berbicara lemah lembut. Ia bahkan memanggilku dengan sebutan Akang.
Tapi akhirnya aku tidak dapat menolak perjodohan itu. Aku tidak dapat menolak permintaan dari ibuku. Aku tak ingin melukai hatinya yang telah memberikan kasih sayangnya selama ini kepadaku. Beliau mengatakan bahwa orang tua Asti yang membiayai pengobatan ayahku ketika beliau sakit. Orang tua Asti pula yang membiayai sekolahku. Bahkan mereka pula yang memodali ibu hingga usahanya berkembang pesat. Waktu itu aku bergumam, kejadian yang mirip cerita sinetron itu ternyata menyapaku juga.
Tapi itulah. Aku tidak dapat melepaskan diri dari Santi. Pesonanya telah mengikatku. Selain itu, aku berempati kepadanya. Aku membimbingnya agar ia dapat melupakan masa lalu kami dan menemukan laki-laki yang baik sebagai pengganti diriku. Tapi ternyata jalan yang kutempuh adalah salah. Dengan begitu aku makin terikat pada Santi. Aku pun sering melupakan kewajibanku sebagai suami. Kadang sampai berhari-hari aku tidak pulang.
Dan hari ini –dua tahun setelah kami menikah dan mempunyai seorang anak- aku menemukan isteriku di tempat tidurnya dengan mulut berbusa. Mungkin ia tidak kuat dengan menghadapi kelakuanku yang tidak bertanggungjawab. Ia mencoba bunuh diri. Surat di sampingnya menyiratkan hal itu. Tapi, aku tak berterus terang pada ibuku tentang surat itu. Ia pasti akan marah besar jika tahu penyebab kenapa Asti akan melakukan bunuh diri. Beliau pasti tidak akan memaafkanku.
***
Dua hari berlalu sejak Asti dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya naik turun. Kadang stabil, kadang drop. Seperti hari ini, ia tampak lemah. Denyut jantungnya turun sampai beberapa puluh denyut per menit. Suaranya nyaris tidak terdengar. Ia berbicara dengan terpatah-patah. Ia mengucapkannya dengan lemah.
Kang, maafkan aku, Kang. Aku tidak bisa membahagiakan Akang.”
Ia menarik napas panjang sekali.
Saya mau berwasiat kepada Akang.”
Asti, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kamu akan sembuh.”
Dengarkan aku, Kang. Akang sekarang yang harus mendengarkan Asti.”
Ia berhenti lagi.
Aku tahu, Akang sangat mencintai perempuan itu. Sejak lama.”
Napasnya terengah. Ia kelihatan sangat susah untuk bernapas meski telah dibantu dengan alat bantu pernapasan. Aku memegangi tangannya. Aku menciuminya. Aku minta padanya untuk tidak melanjutkan kata-katanya yang memerindingkan bulu kudukku.
Kalau aku sudah tiada, kalau Akang ingin menikah kembali silahkan saja. Tapi ada syaratnya. Dan syarat ini harus Akang penuhi.”
Ia berhenti sebentar. Aku tidak tahu, bahagia atau sedih mendengarnya. Ternyata ia sangat baik. Di akhir hayatnya ia masih memikirkan aku, suami yang telah menyia-nyiakannya.
Yang pertama, di-didik anak ki-kita dengan ba-baik,” ucapnya diantara napasnya yang tersengal. Ia terdiam sebentar.
Yang kedua, Ka-kalau mau me-menikah lagi tu-tunggu…sampai ku-kuburku telah ke-kering. D-Dan yang ke-ketiga, sirami kuburku de-dengan a-air se-setiap ha-hari.”


Ah, aku terperanjat. Bagaimana mau kering kalau kuburnya harus disirami setiap hari? Inikah balasan untukku, seorang suami yang telah menyia-nyiakan isterinya?

0 komentar:

Posting Komentar