Rabu, 19 November 2014
Duniaku Makin Senyap
Beberapa waktu lalu, aku bermaksud menemui seorang teman di rumahnya. Dan niat itu terwujud dengan cepat karena aku bertemu dengannya dalam perjalanan. Ia pun hendak pulang dari suatu bepergian jarak dekat.
Tidak lama kami sampai di rumah sederhana beliau. Di sana, di depan rumah sederhana keluarga itu, dua orang anak lelaki berusia belasan tahun sedang duduk-duduk tanpa suara. Tangan mereka masing-masing memegang ponsel. Jemari mereka pun menari-nari di atas keypad . Entah sedang membuat sandek ataukah menjelajah beberapa fitur yang berada di sana, aku tidak tahu. Yang jelas mereka asyik melakukan hal itu ditemani suara musik yang keluar dari salah satu perangkat canggih itu.
Aku duduk di luar. Aku duduk di hadapan mereka. Meski begitu aku dapat melihat ke dalam rumah. Di sana, di ruang tengah ruangan sederhana itu satu unit televisi sedang on. Tapi sesekali pindah channel. Tampaknya seseorang yang berada di balik dinding itulah sebagai penyebabnya. Layar televisi berwarna itu berubah-ubah tidak karuan. Mungkin acaranya tidak ada yang menarik untuk ditonton. Lama aku terdiam. Lama aku berada dalam kondisi seperti itu. Aku pun tidak berinisiatif untuk sekedar berbasa basi dengan anak laki-laki yang sedang asyik itu. Ada rasa segan yang menyusup dalam kalbu. Takut dianggap mengganggu aktivitas mereka.
Tiba-tiba nongol dua orang anak kembar berusia tiga tahunan dari ruang tengah. Salah satunya tersenyum bahkan terus menatapku. Mungkin sedang mengingat-ingat wajahku.
“Siapa ya?” begitulah mungkin tatapan binar mata itu berarti.
“Apa kita pernah bertemu?” tatap mata itu terus berbicara.
Aku tersenyum sebagai jawabnya. Mencoba ramah. Tapi anak kecil kembarannya tidak peduli. Ia bahkan tidak melihat kepadaku. Ia membuka seperangkat peralatan soundsystem –loudspeaker lebih tepatnya. Tangannya yang mungil meraba beberapa bagian. Bahkan jika ada yang berlubang, ia akan merogohnya. Entah apa yang dicarinya.
“Tutup, Dek. Nanti tangannya digigit tikus,” suara perempuan dewasa terdengar dalam bahasa Sunda. Tampaknya ia berada di balik dinding itu. Dan ia pula yang menggonta ganti channel televisi. Sekarang ia melarang anaknya mengoprak-oprek benda elektronik itu. Tapi si anak kecil tidak peduli. Tangannya terus menjamah ke sana ke mari.
“Charger mana, Ma?” tanya temanku, suami si perempuan, dari dalam kamar. Kedengarannya ia sedang membuka-buka sesuatu. Terdengar beberapa barang yang dipindah.
“Di atas lemari,” kembali terdengar suara perempuan dewasa. Dari arah yang sama. Dari balik dinding di hadapan televisi. Tetapi beliau tidak beranjak.
Aku tersentak. Karena hanya itulah, kedua suara itulah, yang aku dengar dalam sekian menit aku berada di rumah itu, selain suara bunyi musik dari hape dan dari televisi yang menyala.
Sang suami tidak bertanya lagi. Tampaknya ia langsung menuju lemari yang dimaksud oleh sang isteri. Kembali beberapa lama terdengar koprak-koprek tidak jelas. Tapi sekarang hanya sebentar. Beliau muncul di hadapanku. Membawa satu unit telepon genggam plus charger-nya. Beliau menyerahkannya kepadaku.
“Pak, jajan!” pinta anak lelaki yang tadi menatapku ketika melihat aku mengeluarkan sejumlah uang. Aku hanya tersenyum ketika mendengarnya. Aku pun menerima dua perangkat itu dan menyerahkan uang yang aku pegang. Kami berbasa basi sebentar. Aku pun pulang.
Beberapa jam kemudian, aku menuju sebuah warung internet langgananku. Aku bermaksud mengirim e-mail ke sebuah penerbit di Yogyakarta. Sekaligus mendownload e-mail dari puluhan milis yang aku ikuti. Memang itulah yang sering aku lakukan. Aku mendownload e-mail dan membacanya di rumah. Efesien, hemat. Aku tidak perlu online. Tapi ada kekurangannya juga. Aku jadi kurang bersilaturahmi dengan sesama member. Tapi tak apalah. Yang penting adalah beberapa tulisan mereka menginspirasiku. Menambah pengetahuan.
Dan begitulah. Aku asyik di sana, di salah satu bilik warnet itu. Membuka gmail, yahoo, Facebook, Thunderbird, dan beberapa situs dalam waktu bersamaan. Tidak lupa meng-save as beberapa artikel serta mendownload software.
Tidak hanya aku saja yang berselancar. Tiga orang yang datang terlebih dahulu, tampak serius di depan komputer di bilik masing-masing. Yang terdengar hanyalah ketukan-ketukan jari di atas keyboard. Sesekali dua orang surfer berjenis kelamin laki-laki yang biliknya berhadapan, bersuara satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak tahu karena perhatianku tersita dengan apa yang aku kerjakan. Tapi kalau tidak salah tangkap mereka berdua tampaknya mengeluhkan temannya yang tidak online.
Satu jam aku di sana. Waktu itu cukup untuk melakukan apa yang aku inginkan.
“Tiga ribu rupiah,” ujar sang penjaga warnet. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sedangkan tangannya tetap pada tetikus. Matanya menatap sesaat kepadaku tapi kemudian dengan cepat beralih ke layar monitor.
Aku meninggalkan warnet itu. Aku kembali ke rumahku. Tapi aku tidak melewati jalan yang sama dengan jalan yang aku lalui di awal perjalanan yaitu melalui jalan raya. Kini aku memakai jalan yang berbeda. Sebuah gang sempit dengan beberapa rumah penduduk berjajar di kanan kirinya. Kadang-kadang ada juga beberapa kolam ikan. Tidak lupa, saluran pengairan yang telah berfungsi dengan baik setelah beberapa waktu sebelumnya pernah jebol karena dihantam banjir.
Aku terus menyusuri jalan sempit itu. Hingga akhirnya melewati sebuah bangunan yang masih dalam tahap pengerjaan. Bangunan berlantai dua dengan perancah bambu di sekelilingnya ini adalah hibah dari sebuah parpol yang menang di TPS kami. Bangunan ini rencananya akan diperuntukkan menjadi sebuah pesantren. Dan di sana, di sekeliling bangunan itu, tergambar apa yang aku lihat ketika aku berada di rumah temanku dan di warnet. Dunia yang senyap meski kali ini berbeda makna. Satu orang mengecat. Yang lain mengampelas. Dan beberapa orang lagi sedang serius dengan pekerjaannya masing-masing. Hampir tidak ada yang bicara. Hanya sesekali saja.
Tidak sampai sepuluh menit, aku telah sampai di rumah. Aku masuk ke dalam rumah. Tapi aku tertegun, di sana, di ruang tengah, suatu pemandangan yang sama menghampiriku. Orang tuaku dan adikku sedang menatap layar kaca. Tidak banyak kata yang keluar dari mereka. Yang paling dominan adalah suara yang bersumber dari layar kaca. Aku langsung masuk kamar. Menghidupkan komputer. Membuka Thunderbird. Membaca beberapa e-mail. Membuka program pengolah kata. Dan akhirnya hanya suara jemariku yang beradu dengan tuts-tuts sang keyboard yang akhirnya terdengar.
Ah, duniaku makin senyap!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar