Selasa, 18 November 2014

Secuil Mimpi yang Maujud






Ketika berada di awal usia dua puluhan, aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis. Pada awalnya aku tidak tahu kenapa ingin menjadi seperti itu. Mungkin karena bangga saja jika karya kita diapresiasi, buah pikiran kita menggerakkan masyarakat banyak, bahkan menginspirasi dan menjadi buah tutur orang lain. Tapi jujur, cita-cita itu pernah padam begitu saja. Tidak ada kelanjutannya. Karena merasa tidak ada yang membimbing. Organisasi kepenulisan di kotaku tidak aktif. Aku pun bukan berasal dari keluarga penulis. Aku terlahir dari keluarga awam. Bahkan bagi kami, buku tidaklah menjadi salah satu yang nangkring dalam catatan belanja. Ia bisa disebut berada di nomor buntut dalam kehidupan keluarga sederhana kami.
Begitulah, harapan itu pernah terpendam untuk beberapa saat. Hingga sebuah pikiran positif menyeruak: Kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan selama kita berusaha. Sebuah tagline iklan r*k*k mengatakan, “Ada Obsesi Ada Jalan”. Untuk menjadi penulis tidak perlu ada pembimbing. Tidak perlu berasal dari keluarga penulis. Yang paling penting adalah mental juang, semangat berkarya dan motivasi yang kuat. Jika tidak ada yang membimbing, bimbinglah diri sendiri. Jika tidak dilahirkan dari keluarga penulis, ciptakan keluarga penulis sendiri. Itulah pikiran positif yang membakar semangatku. Dan akhirnya aku pun mulai berlatih menulis. Jangan kaget, di sehelai kertas bekas brosur promo sepeda motor yang di baliknya masih kosong! Karena aku tidak mempunyai komputer. Karena aku tidak mempunyai alat tulis lain. Dan hanya itulah yang aku punya.
Lantas bagaimana cara aku menulis? Dan apa yang aku tulis?
Ketika berlatih, aku akan menentukan sebuah benda atau fenomena untuk dijadikan bahan tulisan. Aku akan memperhatikan sekeliling. Melihat alam sekitar. Pokoknya mencermati segala sesuatu yang dapat diinderai. Seekor lalat contohnya. Aku memperhatikan apa yang ia lakukan. Apa yang ia perbuat. Apa yang ia kerjakan. Setelah itu aku menyiapkan hati dan pikiran. Menyiapkan alat tulis. Dan kemudian aku pun menulis. Dan berikut ini hasil tulisanku tentang lalat.

Benda itu terbang rendah. Hinggap di dinding yang kotor. Ia lama berhenti di sana. Tampaknya ia –benda bernama lalat itu- betah. Ataukah karena menemukan makanan? Entahlah aku tidak tahu. Karena aku bukan lalat. Aku tidak tahu makanannya apa. Yang jelas aku sering melihatnya di tempat sampah. Mungkinkah sampah itu adalah makanannya? Kalau memang seperti itu Maha Suci Allah yang telah menciptakannya. Sungguh tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya berguna. Begitupun dengan sampah!
Jika buntu, mentok (tidak menemukan kata-kata lain untuk diungkapkan) aku pun berhenti. Aku tidak terlalu memaksakan diri. Setelah itu aku akan mencari bahan tulisan lain. Fenomena misalnya. Berikut ini adalah sebuah fenomena yang menggangguku menulis yaitu suara hak sepatu yang beradu dengan lantai.
Kletak, kletok terdengar suara sepatu hak tinggi dengan anak tangga di rumahku. Aku tidak tahu siapa pemilik suara nyaring itu. Yang jelas ia menggangguku yang sedang belajar menulis. Aku menjadi tidak dapat berkonsentrasi. Aku menjadi tidak dapat menuliskan apa yang ada dalam kepalaku. Pokoknya buyar. Kata-kata yang telah ada di batok kepalaku berloncatan, kabur, hanya karena suara sepatu yang beradu dengan anak tangga!
Jika buntu, kembali aku berhenti. Beberapa saat kemudian, aku mencoba menulis kembali. Jika tetap tidak dapat melanjutkan, aku tidak akan memaksakannya. Begitulah proses pembelajaran yang pernah aku jalani. Berbulan-bulan. Cukup lama. Memakan waktu yang tidak sedikit.
Lantas jika ada pertanyaan, masa sih tulisan seperti itu mencerahkan? Menggerakkan orang? Menginspirasi? Lagi pula tulisan seperti itu tidak bermutu! Pendek lagi!
Kawan, proses adalah sebuah keadaan yang wajib kita jalani di dunia ini. Aku pun tidak terlalu bernafsu menjadikan tulisan pertamaku menjadi sebuah tulisan inspiratif. Yang wajib aku lakukan adalah menulis, menulis dan menulis. Itu saja! Ibarat ingin pandai berenang, ya aku belajar berenang. Aku tidak pernah memikirkan emas olimpiade. Aku tidak pernah bernafsu menggerakkan kaki dan tangan dengan cepat seolah sedang berlomba dan segera sampai di garis finish. Sederhananya, karena aku sedang belajar berenang, ya belajar mengapung dululah. Aku belajar menggerakkan kaki dan tangan dululah. Itu yang aku kerjakan. Itulah yang harus saya jalani. Memang ada orang yang tidak belajar berenang tapi bisa berenang. Contohnya seorang kawanku. Ketika itu perahu yang ditumpanginya terbalik. Ia pun terjungkal di sungai. Spontan, ia menggerakkan kaki dan tangannya. Ia pun bisa mencapai pinggir sungai. Ia selamat.
Memang ada orang yang belum pernah menulis buku lantas menghasilkan sebuah karya yang diperbincangkan. Bisa membuat naskah yang menggerakkan orang banyak. Tapi berapa sih yang seperti mereka? Berapa persenkah yang diberi kelebihan seperti itu? Tentu tidak banyak. Yang umum sih harus melalui proses. Itu adalah sebuah hukum dari Allah Subhanahu Wa Taala di dunia ini. Itu yang wajar. Kebanyakan tertatih-tatih, tergagap-gagap. Jadi aku pun menjalani saja proses pembelajaran itu. Aku yakin bahwa satu kalimat yang aku kumpulkan, satu paragraf yang aku susun, adalah satu anak tangga yang aku titi untuk menuju sebuah karya fenomenal. Siapa yang tahu?
Itulah cara yang aku lakukan dalam proses pembelajaran. Aku juga mencoba metode lain, namanya copy the master. Konon zaman dahulu di Cina, seseorang yang akan belajar melukis, biasanya diberi sebuah lukisan yang dibuat oleh seorang master, yaitu ahli melukis atau pelukis terkenal. Sang calon pelukis disuruh meniru lukisan master tadi sampai semirip mungkin dengan lukisan yang ditirunya. Sesudah sepuluh dua puluh kali mencoba, sang calon pelukis akan mendapat sebuah master baru untuk ditiru. Begitulah seterusnya sampai sang calon pelukis bisa melukis sendiri dan mulai menemukan bentuk yang khas sesuai dengan kepribadiannya. Dan hal ini, copy the master ini, aku lakukan dalam proses belajarku menulis. Aku mengambil sebuah karya yang bagus. Tulisan itu aku telaah, aku baca, dan aku perhatikan. Setelah itu aku mencoba untuk menuliskannya. Aku tuliskan kembali karya yang baru saja saya baca itu. Tidak perlu sama tata bahasanya, tidak perlu serupa kata-katanya, yang penting adalah idenya yang sama. Jalan ceritanya yang serupa. Itulah yang aku lakukan. Cuma jujur bagiku menulis menggunakan metoda ini cukup sulit. Kenapa? Aku merasa pikiranku terkungkung oleh karya yang menjadi acuan itu. Aku tidak bebas dalam mengeksplorasi sudut-sudut otakku untuk mencari kata dan kalimat yang terserak di sana.
***
“Jika kita ingin berhasil di masa yang akan datang, yang pertama harus kita lakukan adalah berpijak di masa sekarang, hidup di masa kini.” Begitulah kalimat yang aku ingat dari sebuah buku yang pernah aku baca. Tapi aku tidak ingat tepatnya. Untaian kalimat di atas hanyalah pemahamanku dalam mencermati kata-kata sang penulis.
Dan dalam konteks kehidupan yang sedang aku jalani (waktu itu aku masih berstatus sebagai pejabat alias pengangguran Jawa Barat), aku pun harus melakukan hal serupa jika ingin menjadi seorang penulis yang berhasil. Aku harus berpijak di masa sekarang. Tidak mungkin aku menghasilkan sesuatu yang positif dan baik di masa yang akan datang, jika aku tidak hidup di hari ini. Apakah masa sekarang itu? Apakah masa kini itu? Sangat sederhana. Bisa berupa kertas, listrik, biaya rental komputer hingga perut yang harus diisi. Tidak itu saja, keterampilan pun harus selalu aku asah meski hanya satu paragraf satu hari. Aku percaya, “Karya besar esok hari, dimulai oleh langkah kecil tapi nyata hari ini.”
Lantas karena semua ada biayanya, ada harganya, -pepatah Barat mengatakan, tidak ada makan siang yang gratis, no pain no gain istilah lainnya-, apa yang harus aku lakukan? Sangat memalukan jika harus menggantungkan hidup pada orang tua. Oleh karena itu aku harus mempunyai penghasilan untuk menunjang mimpiku. Dan alhamdulillah sebuah lembaga keuangan syariah menerimaku untuk bergabung.
Suatu hari, di secuil waktu, aku berpikir arah yang akan aku tempuh sebagai penulis? Fiksi atau nonfiksi? Penulis buku atau penulis di media? Lama aku berpikir. Lama aku merenung. Lama aku menimbang. Sebenarnya aku ingin menulis nonfiksi, karena perdebatan mengenai hukum fiksi dalam Islam. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada yang beranggapan boleh sebagai penyeimbang fiksi sekuler. Tapi untuk menulis nonfiksi apakah aku pantas? Apakah aku mampu? Materi memang banyak melimpah di internet. Bejibun. Tapi tidak semudah itu. Aku pernah membaca di sebuah majalah, bahwa materi di situs yang bertebaran itu adalah pseudoscience, informasinya seolah-olah benar, padahal salah. Dan itulah yang membuatku tidak dapat menggerakkan jemari. Aku takut apa yang aku tuliskan adalah salah dan menjerumuskan orang lain. Jadi untuk sementara aku berkutat di fiksi. Meski sesekali tetap belajar untuk menulis artikel.
Waktu terus berlalu, masa terus berlari, aku pun terus menulis (fiksi). Hingga tidak terasa beberapa halaman telah aku ciptakan. Beberapa tokoh aku munculkan. Beberapa alur cerita terejawantahkan. Dan jadilah dua novel yang ditulis dalam jangka waktu delapan bulan. Relatif lama bagi seorang pemula. Novel ini kisah pribadiku. Cerita diriku dalam mengelola lembaga keuangan syariah, secuil pengalaman di Banjarmasin ketika mengikuti Program Pertukaran Pemuda Antar Provinsi Jabar-Kalsel 2001, serta motivasi menulis. Tapi uniknya, di beberapa bab, tulisanku menikung menjadi nonfiksi. What? Yup, benar. Novel ini berisi pengalamanku sebagai mujahid di lembaga keuangan syariah. Jadi, mau tidak mau (di beberapa bagian malah dengan sadar dan sengaja), aku menguraikan tentang prinsip-prinsip lembaga keuangan syariah. Mulai dari penghimpunan dana (jenisnya: mudharabah/bagi hasil dan wadi’ah/titipan), penyaluran dana (jenisnya: jual beli (murabahah, salam, istishna), syirkah (mudharabah, musyarakah) dan Ijarah (Sewa), serta prinsip yang ketiga adalah Fee Based Income (jenisnya: wakalah/agency, dan ujrah/jasa). Bahkan aku pun menceritakan tentang tahapan dalam melakukan pelarangan riba serta tentu saja jenis-jenisnya.
Mungkin terdengar sedikit aneh tapi memang begitulah apa yang aku tulis. Novel ini aku jadikan sebagai sarana pengenalan ekonomi Islam. Aku pun menuliskan bahwa salah satu yang membuat negara kita terpuruk adalah karena sistem perekonomian kita yang keliru, tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena dalam praktik ekonomi ribawi, kita saling dzalim dan mendzalimi bahkan telah divonis dengan dosa yang sangat besar bagi para pelakunya.
“Dan jika kamu tidak melakukan riba, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”[1]
“Al-Hamim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW bersabda, ”Riba itu memunyai 99 pintu (tingkatan) dosa, yang paling rendah dosanya sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”[2]
Siapakah para pelaku riba itu? Terjawab dalam hadits Rasul berikut:
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." [3]
Tidak itu saja, kita pun sedikit banyak ikut “berkontribusi” dengan semua kemaksiatan yang terjadi di negeri ini. Karena uang yang kita tabung di bank konvensional salah satunya diinvestasikan pada jaringan usaha yang hanya memikirkan profit belaka tanpa memikirkan kemaslahatan dan dampaknya terhadap masyarakat. Tidak peduli jenis-jenis usaha yang dibiayai itu dapat merusak moral dan mental generasi muda. Apapun bentuknya, yang penting menguntungkan dan mendatangkan laba seperti perjudian, bar, diskotek, prostitusi, night club, perusahaan rokok, media-media porno, serta media yang memusuhi Islam.
Dan aku berharap, apa yang aku lakukan dengan menulis buku itu, menjadi seperti cerita burung kecil yang berusaha memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim seperti yang dikisahkan Jalaludin Rumi. Dengan paruhnya yang mungil ia terbang ke samudera, mengambil air, menyimpannya dan berusaha menjatuhkannya dari tempat yang sangat tinggi, dan berharap bisa memadamkan api itu. Seluruh binatang dan tumbuhan menertawakannya. “Bagaimana mungkin seumpil air dalam paruh kecil itu dapat memadamkan api?”
Mendengar hal ini burung itu menjawab, “Aku tahu aku tidak akan pernah bisa memadamkan api Namrud, tetapi aku ingin Allah Swt mencatat aku sebagai makhluk yang pernah berusaha memadamkannya.”[4]
Begitulah yang aku lakukan. Memang aku tidak akan pernah dapat memadamkan kobaran riba itu, tapi aku ingin dicatat oleh-Nya sebagai orang yang pernah menyeru kepada kebaikan, mengingatkan yang salah, sebagai bentuk implementasi dari hadits Rasulullah Saw.
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”[5]
Begitulah beberapa proses yang pernah aku jalani, perjuangan yang aku lakoni dan secuil hasil yang teramat manis mengingat keterbatasan yang mengiringiku. Dan hasil yang teramat sederhana ini dengan sendirinya telah membuktikan apa yang aku yakini: aku bisa menjadi apapun yang aku inginkan, selama berusaha. Serta tentu saja dengan campur tangan-Nya. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.
Allahumma anta rabbi laa ilaaha anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastath’tu ‘audzubika min syarri maa shona’tu abuuu laka bi ni’matika ‘alayya wa abuuu laka bi dzanbi fagh firlii. Fainnahu laa yaghfiru dzunuuba illaa anta. Allahumma inni as’aluka ridhaaka wal jannah.
Aamiin, aamiin, aamiin, yaa rabbal ‘aalamiin.



[1] QS Al Baqarah : 279
[2] HR. Ahmad, Kitab Nailul Authar hadits no. 2889
[3] Riwayat Muslim
[4] Irpan Nurdin, Tersenyum untuk Hari Esok hal. 180
[5] H.R. Muslim

0 komentar:

Posting Komentar