Ketika
berada di awal usia dua puluhan, aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis.
Pada awalnya aku tidak tahu kenapa ingin menjadi seperti itu. Mungkin karena
bangga saja jika karya kita diapresiasi, buah pikiran kita menggerakkan
masyarakat banyak, bahkan menginspirasi dan menjadi buah tutur orang lain. Tapi
jujur, cita-cita itu pernah padam begitu saja. Tidak ada kelanjutannya. Karena
merasa tidak ada yang membimbing. Organisasi kepenulisan di kotaku tidak aktif.
Aku pun bukan berasal dari keluarga penulis. Aku terlahir dari keluarga awam.
Bahkan bagi kami, buku tidaklah menjadi salah satu yang nangkring dalam catatan
belanja. Ia bisa disebut berada di nomor buntut dalam kehidupan keluarga
sederhana kami.
Begitulah,
harapan itu pernah terpendam untuk beberapa saat. Hingga sebuah pikiran positif
menyeruak: Kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan selama kita berusaha. Sebuah
tagline iklan r*k*k mengatakan, “Ada
Obsesi Ada Jalan”. Untuk menjadi penulis tidak perlu ada pembimbing. Tidak
perlu berasal dari keluarga penulis. Yang paling penting adalah mental juang,
semangat berkarya dan motivasi yang kuat. Jika tidak ada yang membimbing, bimbinglah
diri sendiri. Jika tidak dilahirkan dari keluarga penulis, ciptakan keluarga penulis
sendiri. Itulah pikiran positif yang membakar semangatku. Dan akhirnya aku pun mulai
berlatih menulis. Jangan kaget, di sehelai kertas bekas brosur promo sepeda
motor yang di baliknya masih kosong! Karena aku tidak mempunyai komputer. Karena
aku tidak mempunyai alat tulis lain. Dan hanya itulah yang aku punya.
Lantas
bagaimana cara aku menulis? Dan apa yang aku tulis?
Ketika
berlatih, aku akan menentukan sebuah benda atau fenomena untuk dijadikan bahan
tulisan. Aku akan memperhatikan sekeliling. Melihat alam sekitar. Pokoknya mencermati
segala sesuatu yang dapat diinderai. Seekor lalat contohnya. Aku memperhatikan
apa yang ia lakukan. Apa yang ia perbuat. Apa yang ia kerjakan. Setelah itu aku
menyiapkan hati dan pikiran. Menyiapkan alat tulis. Dan kemudian aku pun
menulis. Dan berikut ini hasil tulisanku tentang lalat.
Benda itu terbang rendah.
Hinggap di dinding yang kotor. Ia lama berhenti di sana. Tampaknya ia –benda bernama lalat itu- betah.
Ataukah karena menemukan makanan? Entahlah aku tidak tahu. Karena aku bukan
lalat. Aku tidak tahu makanannya apa. Yang jelas aku sering melihatnya di
tempat sampah. Mungkinkah sampah itu adalah makanannya? Kalau memang seperti
itu Maha Suci Allah yang telah menciptakannya. Sungguh tidak ada yang sia-sia
di dunia ini. Semuanya berguna. Begitupun dengan sampah!
Jika
buntu, mentok (tidak menemukan kata-kata lain untuk diungkapkan) aku pun berhenti.
Aku tidak terlalu memaksakan diri. Setelah itu aku akan mencari bahan tulisan
lain. Fenomena misalnya. Berikut ini adalah sebuah fenomena yang menggangguku
menulis yaitu suara hak sepatu yang beradu dengan lantai.
Kletak,
kletok terdengar suara sepatu hak tinggi
dengan anak tangga di rumahku. Aku tidak tahu siapa pemilik suara nyaring itu.
Yang jelas ia menggangguku yang sedang belajar menulis. Aku menjadi tidak dapat
berkonsentrasi. Aku menjadi tidak dapat menuliskan apa yang ada dalam kepalaku.
Pokoknya buyar. Kata-kata yang telah ada di batok kepalaku berloncatan, kabur, hanya
karena suara sepatu yang beradu dengan anak tangga!
Jika
buntu, kembali aku berhenti. Beberapa saat kemudian, aku mencoba menulis
kembali. Jika tetap tidak dapat melanjutkan, aku tidak akan memaksakannya. Begitulah
proses pembelajaran yang pernah aku jalani. Berbulan-bulan. Cukup lama. Memakan
waktu yang tidak sedikit.
Lantas
jika ada pertanyaan, masa sih tulisan seperti itu mencerahkan? Menggerakkan
orang? Menginspirasi? Lagi pula tulisan seperti itu tidak bermutu! Pendek lagi!
Kawan,
proses adalah sebuah keadaan yang wajib kita jalani di dunia ini. Aku pun tidak
terlalu bernafsu menjadikan tulisan pertamaku menjadi sebuah tulisan
inspiratif. Yang wajib aku lakukan adalah menulis, menulis dan menulis. Itu
saja! Ibarat ingin pandai berenang, ya aku belajar berenang. Aku tidak pernah
memikirkan emas olimpiade. Aku tidak pernah bernafsu menggerakkan kaki dan
tangan dengan cepat seolah sedang berlomba dan segera sampai di garis finish. Sederhananya, karena aku sedang belajar
berenang, ya belajar mengapung dululah. Aku belajar menggerakkan kaki dan
tangan dululah. Itu yang aku kerjakan. Itulah yang harus saya jalani. Memang
ada orang yang tidak belajar berenang tapi bisa berenang. Contohnya seorang
kawanku. Ketika itu perahu yang ditumpanginya terbalik. Ia pun terjungkal di
sungai. Spontan, ia menggerakkan kaki dan tangannya. Ia pun bisa mencapai pinggir
sungai. Ia selamat.
Memang
ada orang yang belum pernah menulis buku lantas menghasilkan sebuah karya yang
diperbincangkan. Bisa membuat naskah yang menggerakkan orang banyak. Tapi
berapa sih yang seperti mereka? Berapa persenkah yang diberi kelebihan seperti itu?
Tentu tidak banyak. Yang umum sih harus melalui proses. Itu adalah sebuah hukum
dari Allah Subhanahu Wa Taala di dunia ini. Itu yang wajar. Kebanyakan
tertatih-tatih, tergagap-gagap. Jadi aku pun menjalani saja proses pembelajaran
itu. Aku yakin bahwa satu kalimat yang aku kumpulkan, satu paragraf yang aku susun,
adalah satu anak tangga yang aku titi untuk menuju sebuah karya fenomenal.
Siapa yang tahu?
Itulah
cara yang aku lakukan dalam proses pembelajaran. Aku juga mencoba metode lain, namanya
copy the master. Konon zaman dahulu
di Cina, seseorang yang akan belajar melukis, biasanya diberi sebuah lukisan
yang dibuat oleh seorang master, yaitu ahli melukis atau pelukis terkenal. Sang
calon pelukis disuruh meniru lukisan master tadi sampai semirip mungkin dengan
lukisan yang ditirunya. Sesudah sepuluh dua puluh kali mencoba, sang calon
pelukis akan mendapat sebuah master baru untuk ditiru. Begitulah seterusnya
sampai sang calon pelukis bisa melukis sendiri dan mulai menemukan bentuk yang
khas sesuai dengan kepribadiannya. Dan hal ini, copy the master ini, aku lakukan dalam proses belajarku menulis. Aku
mengambil sebuah karya yang bagus. Tulisan itu aku telaah, aku baca, dan aku perhatikan.
Setelah itu aku mencoba untuk menuliskannya. Aku tuliskan kembali karya yang
baru saja saya baca itu. Tidak perlu sama tata bahasanya, tidak perlu serupa
kata-katanya, yang penting adalah idenya yang sama. Jalan ceritanya yang
serupa. Itulah yang aku lakukan. Cuma jujur bagiku menulis menggunakan metoda ini
cukup sulit. Kenapa? Aku merasa pikiranku terkungkung oleh karya yang menjadi
acuan itu. Aku tidak bebas dalam mengeksplorasi sudut-sudut otakku untuk
mencari kata dan kalimat yang terserak di sana.
***
“Jika
kita ingin berhasil di masa yang akan datang, yang pertama harus kita lakukan
adalah berpijak di masa sekarang, hidup di masa kini.” Begitulah kalimat yang aku
ingat dari sebuah buku yang pernah aku baca. Tapi aku tidak ingat tepatnya. Untaian
kalimat di atas hanyalah pemahamanku dalam mencermati kata-kata sang penulis.
Dan
dalam konteks kehidupan yang sedang aku jalani (waktu itu aku masih berstatus
sebagai pejabat alias pengangguran Jawa Barat), aku pun harus melakukan hal
serupa jika ingin menjadi seorang penulis yang berhasil. Aku harus berpijak di masa
sekarang. Tidak mungkin aku menghasilkan sesuatu yang positif dan baik di masa
yang akan datang, jika aku tidak hidup di hari ini. Apakah masa sekarang itu?
Apakah masa kini itu? Sangat sederhana. Bisa berupa kertas, listrik, biaya
rental komputer hingga perut yang harus diisi. Tidak itu saja, keterampilan pun
harus selalu aku asah meski hanya satu paragraf satu hari. Aku percaya, “Karya
besar esok hari, dimulai oleh langkah kecil tapi nyata hari ini.”
Lantas
karena semua ada biayanya, ada harganya, -pepatah Barat mengatakan, tidak ada
makan siang yang gratis, no pain no gain
istilah lainnya-, apa yang harus aku lakukan? Sangat memalukan jika harus
menggantungkan hidup pada orang tua. Oleh karena itu aku harus mempunyai
penghasilan untuk menunjang mimpiku. Dan alhamdulillah sebuah lembaga keuangan
syariah menerimaku untuk bergabung.
Suatu
hari, di secuil waktu, aku berpikir arah yang akan aku tempuh sebagai penulis?
Fiksi atau nonfiksi? Penulis buku atau penulis di media? Lama aku berpikir.
Lama aku merenung. Lama aku menimbang. Sebenarnya aku ingin menulis nonfiksi,
karena perdebatan mengenai hukum fiksi dalam Islam. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada yang
beranggapan boleh sebagai penyeimbang fiksi sekuler. Tapi untuk menulis nonfiksi
apakah aku pantas? Apakah aku mampu? Materi memang banyak melimpah di internet.
Bejibun. Tapi tidak semudah itu. Aku pernah membaca di sebuah majalah, bahwa
materi di situs yang bertebaran itu adalah pseudoscience,
informasinya seolah-olah benar, padahal salah. Dan itulah yang membuatku tidak
dapat menggerakkan jemari. Aku takut apa yang aku tuliskan adalah salah dan
menjerumuskan orang lain. Jadi untuk sementara aku berkutat di fiksi. Meski
sesekali tetap belajar untuk menulis artikel.
Waktu
terus berlalu, masa terus berlari, aku pun terus menulis (fiksi). Hingga tidak
terasa beberapa halaman telah aku ciptakan. Beberapa tokoh aku munculkan.
Beberapa alur cerita terejawantahkan. Dan jadilah dua novel yang ditulis dalam jangka
waktu delapan bulan. Relatif lama bagi seorang pemula. Novel ini kisah
pribadiku. Cerita diriku dalam mengelola lembaga keuangan syariah, secuil pengalaman
di Banjarmasin ketika
mengikuti Program Pertukaran Pemuda Antar Provinsi Jabar-Kalsel 2001, serta
motivasi menulis. Tapi uniknya, di beberapa bab, tulisanku menikung menjadi
nonfiksi. What? Yup, benar. Novel ini berisi pengalamanku sebagai mujahid di
lembaga keuangan syariah. Jadi, mau tidak mau (di beberapa bagian malah dengan sadar
dan sengaja), aku menguraikan tentang prinsip-prinsip lembaga keuangan syariah.
Mulai dari penghimpunan dana (jenisnya: mudharabah/bagi
hasil dan wadi’ah/titipan), penyaluran
dana (jenisnya: jual beli (murabahah,
salam, istishna), syirkah
(mudharabah, musyarakah) dan Ijarah
(Sewa), serta prinsip yang ketiga adalah Fee
Based Income (jenisnya: wakalah/agency,
dan ujrah/jasa). Bahkan aku pun menceritakan
tentang tahapan dalam melakukan
pelarangan riba serta tentu saja jenis-jenisnya.
Mungkin
terdengar sedikit aneh tapi memang begitulah apa yang aku tulis. Novel ini aku jadikan
sebagai sarana pengenalan ekonomi Islam. Aku pun menuliskan bahwa salah satu yang
membuat negara kita terpuruk adalah karena sistem perekonomian kita yang
keliru, tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena dalam praktik
ekonomi ribawi, kita saling dzalim dan mendzalimi bahkan telah divonis dengan dosa
yang sangat besar bagi para pelakunya.
“Dan
jika kamu tidak melakukan riba, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.”[1]
“Al-Hamim
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW bersabda, ”Riba itu memunyai 99
pintu (tingkatan) dosa, yang paling rendah dosanya sama dengan seseorang yang
melakukan zina dengan ibunya.”[2]
Siapakah
para pelaku riba itu? Terjawab dalam hadits Rasul berikut:
Jabir
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang
saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." [3]
Tidak
itu saja, kita pun sedikit banyak ikut “berkontribusi” dengan semua kemaksiatan
yang terjadi di negeri ini. Karena uang yang kita tabung di bank konvensional
salah satunya diinvestasikan pada jaringan usaha yang hanya memikirkan profit
belaka tanpa memikirkan kemaslahatan dan dampaknya terhadap masyarakat. Tidak peduli
jenis-jenis usaha yang dibiayai itu dapat merusak moral dan mental generasi
muda. Apapun bentuknya, yang penting menguntungkan dan mendatangkan laba
seperti perjudian, bar, diskotek, prostitusi, night club, perusahaan rokok, media-media porno, serta media yang
memusuhi Islam.
Dan
aku berharap, apa yang aku lakukan dengan menulis buku itu, menjadi seperti
cerita burung kecil yang berusaha memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim seperti
yang dikisahkan Jalaludin Rumi. Dengan paruhnya yang mungil ia terbang ke
samudera, mengambil air, menyimpannya dan berusaha menjatuhkannya dari tempat
yang sangat tinggi, dan berharap bisa memadamkan api itu. Seluruh binatang dan
tumbuhan menertawakannya. “Bagaimana mungkin seumpil air dalam paruh kecil itu
dapat memadamkan api?”
Mendengar
hal ini burung itu menjawab, “Aku tahu aku tidak akan pernah bisa memadamkan
api Namrud, tetapi aku ingin Allah Swt mencatat aku sebagai makhluk yang pernah
berusaha memadamkannya.”[4]
Begitulah
yang aku lakukan. Memang aku tidak akan pernah dapat memadamkan kobaran riba
itu, tapi aku ingin dicatat oleh-Nya sebagai orang yang pernah menyeru kepada
kebaikan, mengingatkan yang salah, sebagai bentuk implementasi dari hadits
Rasulullah Saw.
“Barangsiapa
diantara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya,
jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan
hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”[5]
Begitulah
beberapa proses yang pernah aku jalani, perjuangan yang aku lakoni dan secuil hasil
yang teramat manis mengingat keterbatasan yang mengiringiku. Dan hasil yang teramat
sederhana ini dengan sendirinya telah membuktikan apa yang aku yakini: aku bisa
menjadi apapun yang aku inginkan, selama berusaha. Serta tentu saja dengan campur
tangan-Nya. Alhamdulillaahi rabbil
‘aalamiin.
Allahumma anta rabbi laa
ilaaha anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastath’tu
‘audzubika min syarri maa shona’tu abuuu laka bi ni’matika ‘alayya wa abuuu
laka bi dzanbi fagh firlii. Fainnahu laa yaghfiru dzunuuba illaa anta. Allahumma
inni as’aluka ridhaaka wal jannah.
Aamiin, aamiin, aamiin, yaa
rabbal ‘aalamiin.
0 komentar:
Posting Komentar