Kata beberapa teman, ibuku sangatlah jalang. Sundal. Aku pun dijuluki
anak haram. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak pernah mendengarkan apa yang
mereka katakan. Bukan karena tidak peduli, sebenarnya. Tapi karena memang
begitulah kenyataannya. Aku sering melihat ibuku berkasih-kasihan dengan orang
lain. Bahkan yang paling edan, ia sering melakukan hal serupa dengan kakakku!
“Kenapa kamu tidak melarangnya melakukan hal itu?” seorang teman
mengajakku berbicara.
“Biarlah,” jawabku pendek. “Yang penting jangan denganku.”
“Tapi dia ibumu!”
“Ya, dan aku akan tetap menghormatinya sampai kapanpun.”
“Kalau ibumu seperti, maaf, pelacur itu kamu diam saja?”
“Ya, hal inilah yang aku lakukan. Dan ini menurutku lebih baik.”
“Lebih baik? Katamu lebih baik? Seharusnya kamu menasehatinya. Itu yang
dikatakan baik. Bimbing beliau di jalan yang benar.”
“Tapi bagiku ini yang lebih baik. Tahu kenapa?”
“Kenapa?” tanyanya spontan.
“Aku pun sebenarnya sering ditawari …”
“Ditawari apa?”
“Diajak…”
“Diajak apa?” kejarnya.
“Ya, begitulah….”
“Begitulah bagaimana?” tanyanya penasaran.
“Diajak ber-….” Aku akan mengatakan bersetubuh. Tapi aku urungkan. Aku tidak
mengatakan hal itu. Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Tapi aku yakin ia paham apa
yang aku maksud.
“Berse…,” kata-katanya tercekat. Lanjutnya, “Oleh ibumu?”
Aku mengangguk.
“Selanjutnya?”