Entahlah,
aku tidak menemukan sebutir ide pun. Tak ada sekelumit cahaya yang membawaku
pada seuntai alenia. Semuanya beku.
Mampat. Tak ada yang mengalir. Tak ada yang keluar. Hitam! Kelam! Gulita!
Aku
pun merenung. Aku melihat kertasku. Tak
ada goresan apapun di kertasku karena tidak ada apa pun di otakku. Hitam di
otakku. Hitam di mataku. Hitam di hatiku. Aha! Aku terlonjak. Ternyata aku
tidak mampat. Ada
sesuatu di hatiku, di otakku. Ada
sesuatu di mataku. Hitam, ya hitam! Itulah yang ada di hatiku. Ternyata otakku
tidak kosong. Ada
sesuatu padanya. Hitam. Karena otakku telah hitam maka mataku pun telah pula menjadi
hitam. Dunia pun menjadi gelap. Semuanya menjadi tidak kelihatan.
“Hei,”
segenggam suara tanpa wujud membangunkanku dari euforia itu.
“Ya,”
aku menjawab.
“Ceritakanlah
tentang aku,” kata si Hitam yang ada di otakku memberi saran.
“Tentang
hitam?”
“Ya,
tentang aku.”
Aku
terdiam sebentar. “Tapi aku tidak suka hitam. Aku suka biru.”
“Kenapa
kamu suka biru?” tanyanya.
“Biru
memberikan kedamaian, ketenangan, kejujuran dan kesetiaan,” sekuntum senyum aku
berikan padanya.
“Kesetiaan?”
“Ya,
kesetiaan. Lihatlah langit yang setiap hari menaungi kita. Lautan yang
membentang. Ia memberikan penghidupan.”