Senin, 17 November 2014

Ibuku Binal ...


Kata beberapa teman, ibuku sangatlah jalang. Sundal. Aku pun dijuluki anak haram. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak pernah mendengarkan apa yang mereka katakan. Bukan karena tidak peduli, sebenarnya. Tapi karena memang begitulah kenyataannya. Aku sering melihat ibuku berkasih-kasihan dengan orang lain. Bahkan yang paling edan, ia sering melakukan hal serupa dengan kakakku!

“Kenapa kamu tidak melarangnya melakukan hal itu?” seorang teman mengajakku berbicara.
“Biarlah,” jawabku pendek. “Yang penting jangan denganku.”
“Tapi dia ibumu!”
“Ya, dan aku akan tetap menghormatinya sampai kapanpun.”
“Kalau ibumu seperti, maaf, pelacur itu kamu diam saja?”
“Ya, hal inilah yang aku lakukan. Dan ini menurutku lebih baik.”
“Lebih baik? Katamu lebih baik? Seharusnya kamu menasehatinya. Itu yang dikatakan baik. Bimbing beliau di jalan yang benar.”
“Tapi bagiku ini yang lebih baik. Tahu kenapa?”
“Kenapa?” tanyanya spontan.
“Aku pun sebenarnya sering ditawari …”
“Ditawari apa?”
“Diajak…”
“Diajak apa?” kejarnya.
“Ya, begitulah….”
“Begitulah bagaimana?” tanyanya penasaran.
“Diajak ber-….” Aku akan mengatakan bersetubuh. Tapi aku urungkan. Aku tidak mengatakan hal itu. Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Tapi aku yakin ia paham apa yang aku maksud.
“Berse…,” kata-katanya tercekat. Lanjutnya, “Oleh ibumu?”
Aku mengangguk.
“Selanjutnya?”
“Ya, aku kabur. Aku tidak akan pernah menyentuh ibuku sampai kapanpun.”

Temanku itu melongo. Mungkin ia tidak percaya ibuku sebinal itu. Tapi memang begitulah kelakuannya. Aku tidak ambil pusing. Yang penting aku tidak melakukan hal tercela itu dengan beliau.

Aku tidak tahu, aku tidak pernah paham, aku tidak mengerti, kenapa beliau sering melakukan hal itu? Apakah keinginannya pribadi? Apakah ia dibayar? Apakah ia dirayu? Apakah hasratnya sedemikian besar? Dan beribu apakah lain bergelayut dalam hatiku. Hanya yang jelas ibuku sering melakukannya. Kapanpun dan dimanapun. Ia selalu melakukannya bahkan dengan siapa saja. Termasuk yang baru dikenalnya.

Aku tidak akan pernah lupa dengan seupil pengalaman ketika kami masih kecil. Aku dan kakakku berjalan-jalan dengan beliau. Dalam perjalanan itu, ibuku melihat lawan jenis yang menarik perhatiannya. Ia pun mendekatinya. Bercumbu rayu. Menggelendot mesra. Dan tiga menit kemudian, mereka pun bercinta di hadapan kami!

Begitulah kelakuannya. Begitulah perbuatannya. Begitulah kesehariannya. Tidak mungkin dapat aku cegah. Ia mempunyai jalan sendiri. Aku tidak akan pernah mencampurinya. Itu adalah haknya. Aku juga tidak akan mencampuri urusan kakakku yang sering berhubungan dengan ibu. Biarlah ia menjalani kehidupannya selama tidak mengajakku untuk melakukan hal yang tidak baik. Aku akan enjoy aja. Aku akan diamkan ia berbuat semaunya. Beda jika ia mengajakku melakukan hal yang buruk. Prinsipku adalah perbuatanmu, tanggung jawabmu. Perbuatanku, tanggung jawabku. Jika akan melakukan apa pun terserah saja. Tapi jangan ajak aku untuk melakukan hal itu. Aku pun tidak akan pernah mengajak orang lain untuk berbuat seperti yang aku kehendaki.

***

Udara malam dingin menggigit. Angin mati. Suasana senyap. Aku tidur membelakangi ibuku yang berangkulan dengan kakakku. Mereka tidur berdekatan. Untuk mengurangi udara dingin yang membungkus rumah kami. Aku tidur tidak tenang. Karena takut tergoda rayuan ibuku.

Hampir setiap malam kami tidur seperti ini. Kami tidak punya apa yang disebut kamar terpisah. Kami tidak mempunyai ruangan khusus. Jadi wajar jika mereka –ibu dan kakakku- sering melakukan hal itu.

Aku mengerjapkan mata. Mata ini masih muda. Tapi nampaknya kurang berfungsi dengan baik. Kembali aku mengedipkan mata. Aku melihat ada bayangan barusan. Aku tidak tahu siapa. Aku juga tidak tahu apakah yang aku lihat itu adalah benar ataukah hanya perasaan saja.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah gerakan halus di belakangku. Sesosok tubuh hangat mendekapku. Aku berbalik. Aku terkejut. Ibuku!

Aku segera bangkit.

“Ayolah!” ajak beliau.

Aku mengelak.

“Kenapa sih selalu tidak mau?”

Aku mundur. Aku tidak mau melakukan hal itu.

“Tidak akan ada yang tahu. Tidak akan ada yang menyalahkan kita.”

“Plis, Bu jangan lakukan itu. Jangan. Aku menghormati Ibu. Jika memang itu kebiasaan Ibu, jika memang tidak aturan yang melarangnya, biarlah hal itu terjadi. Yang jelas aku menghormati Ibu karena aku berasal darimu,” bicaraku tersendat.

“Ayolah …” ajaknya sambil mendekat.

Tapi aku tidak mau. Aku tidak akan sudi melakukannya. Aku berbalik. Aku berlari.

“Nak, sekali saja,” teriaknya.

Aku meninggalkan gubuk tempat kami hidup. Aku berlari di jalan yang gelap dan sepi. Sebenarnya aku takut. Daerah kami adalah daerah yang tidak aman. Kami punya cukup banyak musuh. Tidak siang, tidak malam. Mereka selalu muncul dari mana saja.

Aku berjalan dengan penuh ketakutan. Entah aku akan kemana aku tidak tahu. Yang pasti aku harus berjalan. Aku harus menjauhi ibuku. Aku terus melangkah. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Aku berjalan mengendap-ngendap. Terseok-seok. Karena mataku tidak awas. Karena fungsi penglihatanku tidak optimal.

Tiba-tiba terdengar derap langkah. Aku tidak tahu siapa. Aku berlindung di balik bayangan sebuah pohon. Aku memperhatikan mereka. Tiga sosok manusia berjalan beriringan. Kepala mereka ditutupi sebuah kain. Tidak itu saja, sebilah sarung melilit badannya. Mungkin untuk melindungi tubuh dari gigit geram nan ganas dingin malam hari. Tangan salah seorang dari mereka –yang berjalan paling depan- menggenggam senter.

Aku masih menyelinap di balik pohon itu. Aku berdiri di sana. Menghindar dari mata tajam mereka. Aku menunggu hingga mereka berlalu.

Aku akan berjalan. Tapi aku urungkan. Tampaknya ada yang ganjil. Aku merasakan ada hal aneh. Mereka tampaknya menuju arah yang sangat aku hafal. Tapi… benarkah? Aku bimbang. Tapi jujur, langkah mereka mencurigakan. Terlalu banyak hal serupa itu yang pernah aku lihat. Tidak malam ini saja. Juga beberapa malam yang lain. Tampaknya mereka bermaksud jahat.

Akhirnya dengan sedikit berlari aku mengikuti mereka. Dan benar mereka menuju ke sana. Mereka menuju arah yang sangat aku hafal!

Tidak lama tiga orang laki-laki itu sampai di sana. Mereka telah berdiri di depan tempat itu. Aku memandangi mereka dari kejauhan.

Mereka akan berbuat akan jahat! Benar, mereka akan berbuat jahat! Apa yang harus aku lakukan? teriakku dalam hati.

Tangan salah seorang dari mereka mendorong sebuah pintu. Tangan itu terulur, meraba-raba dalam keremangan. Tangan itu menggenggam sesuatu. Ditariknya, diserahkannya sesosok benda yang menguik lemah ke tangan kawannya yang berdiri tidak jauh dari sana.

“Kok hanya dua?” tanya laki-laki yang di depan. Tangannya terus meraba-raba.

“Tidak ada lagi?”

“Ya.”

“Sudahlah. Dua saja cukup untuk kita bertiga,” jawab salah seorang dari mereka.

“Cukup? Tapi aneh.”

“Udah dua aja cukup. Yang satu untuk malam lain.”

Mereka beranjak dari tempat itu. Aku tertegun. Apa yang harus aku lakukan? Ini adalah kejahatan. Mereka telah mengambil barang yang bukan haknya. Itu namanya pencurian! Lagipula itu ‘kan….

Aku kembali terdiam. Aku berpikir. Sebenarnya aku lemah. Tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak berdaya. Tapi apakah aku harus diam? Apakah prinsipku yaitu perbuatanmu adalah tanggung jawabmu. Perbuatanku adalah tanggung jawabku adalah benar? Jika akan melakukan apa pun –termasuk kejelekan- terserah saja, silahkan saja, asal jangan mengajakku adalah juga tepat?

Aku lama berpikir. Aku lama berkutat dengan nuraniku. Tampaknya ada yang salah dengan prinsipku. Dan aku harus berubah. Aku harus mengubah prinsipku. Aku harus berbuat sesuatu meski aku lemah. Aku harus bertindak. Aku harus berbuat.

Aku putuskan untuk mengikuti mereka. Aku berlari-lari kecil di belakang mereka yang telah berjalan cukup jauh. Meski mataku kurang awas, pendengaranku masih bisa berfungsi dengan baik. Aku masih bisa mengenali langkah-langkah kaki mereka.

Tiga orang itu tiba di sebuah pos ronda. Mereka masuk ke dalamnya. Dua orang duduk di balai-balai. Satu orang jongkok menyalakan api unggun. Aku memperhatikan mereka. Aku tidak langsung masuk.

“Kayaknya ketuaan,” cetus salah seorang dari mereka.

“Ya, lumayanlah dari pada tidak ada.”

“Tapi dagingnya pasti sudah alot.”

“Jangan banyak cincong. Yuk kita sembelih,” ujar yang duduk di bale-bale sambil menghunus pisau. Ia beranjak mendekati temannya itu.

Hampir aku berteriak ketika pisau itu terhunus. Kilatan mata pisaunya yang tajam menyilaukan mataku. Sejenak aku ragu. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mundur?

Kedua orang itu mulai memegangi ayam yang mereka curi. Bulu-bulu di sekitar lehernya telah dicabuti. Seorang dari mereka memegangi kaki dan sayapnya. Yang seorang lagi -yang memegang pisau- memegangi kepalanya. Pisau yang tajam itu telah didekatkan ke lehernya yang licin. Aku terhenyak. Aku tidak tega. Aku berteriak sambil berlari mendekat, “Lepaskan!”

Tapi mereka tidak mendengar apa yang aku semburkan. Pisau pun menggores leher jenjang itu. Aku terpana menyaksikan darah yang menyemburat muncrat ke tanah. Ayam itu menggelepar-gelepar kesakitan. Ketiga orang itu tersenyum puas. Salah seorang dari mereka kembali menyerahkan ayam satunya lagi yang berada di tangannya. Dua orang yang barusan melakukan penyembelihan itu kembali berjongkok. Mereka bersiap melakukan eksekusi yang kedua kalinya.

Kali ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencegahnya. Aku berlari mendekat dan berteriak. Kali ini mereka mendengarkanku. Salah seorang dari mereka menoleh. Wajahnya cerah. Ia berujar, “Rezeki nomplok. Ada satu ayam lagi. Sekarang satu orang satu ekor. Kita pesta besar malam ini.”

Ia turun dari bale-bale. Ia berusaha untuk menangkapku. Tidak berapa lama aku dapat ditangkapnya. Aku pun hanya bisa menguik lemah melihat jasad ibu dan kakakku yang telah terbujur kaku. Darah pun muncrat dari leherku diiringi lenguh suara temanku sesama ayam di pagi yang menggigil itu, “Kukuruyuuuuuukk.”



Terinspirasi oleh dua ekor ayam yang melakukan insest. Aku ingin mencegah mereka melakukan hal itu, namun aku tidak paham bahasa ayam. Lagipula KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perhewanan) pasal berapakah yang dilanggar oleh mereka berdua? ^_^V

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Ini blog apaan sih? Backgroudnya bikin tulisan nggak bisa dibaca sama sekali. Pernah cek kah blognya seperti apa tampilannya?

Goezzoer mengatakan...

saraf...ini cerita tentang ayam???dasar somplak

Goezzoer mengatakan...

saraf...ini cerita tentang ayam???dasar somplak

Unknown mengatakan...

nice πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Posting Komentar